Apakah Islam butuh Feminism?

Kayaknya tulisan ini sih basi. Gara-gara RUU P-KS, mau tidak mau saya terpantik untuk menyenggol-nyenggol masalah feminism. Sebagai sebuah ide yang merangsang otak, cukup menarik untuk mempelajari apa itu feminism sebagai sebuah “teori baru”. I always love new theory in my life. It’s like breathing (INTJ live). Sebenarnya tidak benar-benar baru bagi saya. Tapi menelisik sampai ke akarnya tidaklah dengan waktu yang sebentar.

Tadinya saya berpikir bahwa feminism hanyalah sebatas dari meminta persamaan hak agar perempuan juga dapat mendapatkan hak-hak yang sama dengan laki-laki. Lalu saya tahu bahwa feminism dasarnya adalah agar perempuan mempunyai kendali terhadap tubuh dan pikirannya sendiri. Sebagai seseorang yang dididik dengan kepercayaan yang cukup besar dari orang tua dilingkungan urban. Saya tidak mengerti mengapa seseorang sampe bisa tidak punya kendali terhadap tubuh dan pikirannya sendiri. Saya tidak mengerti kenapa seorang perempuan bisa menjadi masyarakat kelas dua. Saya tidak punya diperlakukan berbeda karena saya seorang perempuan oleh orang tua saya, karena saya tidak punya saudara laki-laki mungkin. Tapi memang secara mayoritas dalam keluarga besar saya memperlakukan perempuan dan laki-laki sebagaimana porsinya. Saya tidak pernah diperlakukan berbeda dengan sepupu saya yang laki-laki oleh kakek nenek saya. Ketika dia main layangan, manjat pohon, naik kuda, masuk kendang ayam dan ke sawah, saya tidak pernah dilarang untuk melakukan semuanya karena saya seorang perempuan. Pengalaman hidup saya tidak pernah mengenalkan saya pada keadaan tidak bisa berkuasa akan tubuh dan pikiran saya sendiri karena saya seorang perempuan.

Hal itu sangat asing sampai sesuatu terjadi pada hidup saya yang harus merubah lingkungan saya menjadi sangat tradisional. Dan disana juga saya baru mengerti mengapa ada perempuan-perempuan yang tidak punya kendali terhadap tubuh dan pikirannya sendiri. Dan puncaknya adalah saya pernah hampir gila karena merasa tidak punya kendali terhadap tubuh dan terutama yang paling penting adalah saya tidak punya kendali terhadap pikiran saya sendiri. Ya, SAYA HAMPIR GILA. Tapi untungnya semua telah berakhir.

Lalu saya pun tahu mengapa bisa seorang perempuan tidak bisa punya kendali terhadap tubuh dan pikirannya sendiri. Salah satunya adalah sistem nilai masyarakat umum Indonesia yang cederung patriarki. Sehingga bisa dikatakan bahwa pendapat perempuan tidaklah layak untuk dipertimbangkan, suara perempuan tidaklah layak untuk didengar, bahkan saya merasa seorang perempuan dibiarkan hidup saya sudah merupakan keberuntungan. Mungkin karena ini dulu saya selalu punya sugesti bahwa saya akan dibunuh suatu saat nanti jika terus berada disana. Karena kuasa saya akan tubuh dan pikiran saya tercerabut. Dan sistem nilai itu diamini oleh para kaum perempuannya itu sendiri, setidaknya di lingkaran saya saat itu. Karena dia TIDAK punya kebutuhan dan pengalaman akan keberkuasaan dirinya atas TUBUH dan PIKIRANnya. Dia tidak mengerti urgensi dari kepemilikan kuasa akan TUBUH dan PIKIRANnya. Seperti orang buta huruf yang tidak mengerti kebutuhan akan buku sebagai gizi bagi pemikiran, dia mungkin tak mengerti kebutuhan gizi bagi tubuhnya.

Untungnya, saya mendapat didikan agama yang lumayan kuat dari keluarga, sehingga walaupun saya bisa mengerti keresahan akan sistem nilai patriarki yang terlalu mendominasi dalam kebudayaan masyarakat umum, saya akan kembali kepada agama saya dalam memandang hal tersebut. Selama ini saya selalu mendengar bahwa Islam tidak butuh feminism. Secara norma dan nilai, PEREMPUAN SEMPURNA DI DALAM ISLAM. Saya yakin akan nilai tersebut tetapi sayangnya saya menemukan  sebuah kenyataan pahit bahwa Islam belum berhasil merealisasikannya dalam kehidupan nyata.  Bahkan kadang dijadikan alat supaya kesenjangan menjadi benar. Lalu apakah solusinya adalah feminisme? Tidak ada jaminan juga bahwa feminism akan berhasil bukan? Apalagi feminism didasarkan kepada kesetaraan gender. Panjang lagi dah ceritanya nanti. Honestly, it like breath in dirty air.

Menurut saya, akan menarik jika para pemuka agama yang selalu bicara bahwa Islam tidak butuh feminism itu lebih menyakinkan para Muslimah bahwa dia punya kuasa terhadap tubuh dan pikirannya dibarengi dengan penyadaran seberapa berharga dan dinilaiagungnya tubuh dan pikirannya. Jangan biarkan tubuh dan pikiran para Muslimah ini terlacurkan demi dunia yang sebentar. Yang dilacurkan bukan hanya tubuh, tapi pelacuran pikiranlah yang lebih banyak terjadi. Pelacuran pun tidak hanya dilakukan perempuan tapi juga laki-laki.

Satu hal yang juga saya ingin kritisi adalah pemuka agama yang berkata itu kebanyakan laki-laki  atau mungkin perempuan yang tidak memiliki pengalaman kuasa akan tubuh dan pikirannya tercerabut sehingga mereka kurang empati terhadap para Muslimah yang menjadi objek dari pemikiran ini. Malah bisa dianggap sebagai re-doktrinasi patriarki. Mungkin bisa mengambil hati dengan berempati pada nilai-nilai partriarki yang lebih banyak memberikan privilege kepada kaum laki-laki dan bagaimana Islam sebenernya memandang hal itu. Misalnya, ada beberapa konstruk sosial kita yang tidak menganggap pandangan dan suara perempuan karena pada umumnya perempuan dimana konstruk sosial itu terbentuk tidak punya akses pendidikan yang sama dengan laki-laki, bagaimana Islam memandang hal itu dan memberikan solusi untuk hal itu? Apakah persamaan akses terhadap Pendidikan adalah solusi akhir? Saya kira tidak cukup. Atau jangan-jangan langkah yang diambil malah menutup akses sama sekali bagi perempuan agar ketiadaan suara perempuan menjadi lestari. Haduh…

Jadi, apakah Islam butuh feminism?

Ku Lari Ke Pantai

Komentar pertama yang akan saya ucapkan adalah “that’s my kind of film”. Haha. Waktu kecil, saya adalah tipe anak yang menonton Petualangan Sherina di bioskop, membeli dvdnya, membeli kaset OSTnya, menonton filmnya setiap hari, dan selalu menyetel kasetnya kapanpun saya bisa. Haduh, alay banget deh kalo inget. Seorang anak kecil tidak punya pemahaman yang cukup untuk dapat menangkap pesan filosofis dari sebuah film. Setelah saya besar, barulah saya mengerti bahwa sebenarnya yang dilawan dalam film tersebut adalah jangan menyerah pada bully, bully itu harus dilawan. Mereka juga punya sisi lemahnya. Kekurangan Sadam digambarkan bahwa dia sebenarnya adalah anak yang tidak punya kebebasan sebagai dirinya sendiri di rumah. Semua diatur ibu-bapaknya. Walau saya sefanitik itu sama film Petualangan Sherina, sejujurnya saya agak tidak suka dengan tokoh Sherina. Because I’m not as strong as her. Haha.

Ketika mendengar ada film Ku Lari ke Pantai. Ada rasa rindu yang sedemikian besar terhadap film anak yang dibuat Riri Riza dan  Mira Lesmana. Mungkin saya sudah berkali-kali bilang, bahwa saya sangat suka film-film yang dibuat oleh Riri Riza dan Mira Lesmana terutama Petualangan Sherina, AADC 1 dan Gie. Menontonnya nggak kerasa. Nggak kayak film lain yang saya harus mengintip jam hape, untuk menghitung berapa lama lagi film akan berlangsung. Begitu pula ketika film usai, sejujurnya, saya tidak merasa sudah menonton selama hampir dua jam. Tidak terasa. Dan saya rasa, kalau nanti film ini ada dalam bentuk digital, saya akan menontonnya tiap hari, sebagaimana yang saya lakukan pada film Petualangan Sherina.

Kisahnya tentang konflik budaya. Antara anak yang “dikampungkan” dengan produk urban jaman now. Somehow, saya rasa film ini sebenernya diperuntukan bagi orang tua. Karena anak-anak tidak dapat mengolah pesan filosofis yang terlalu rumit. Seperti saya katakan diawal, layaknya saya ketika menonton Petualangan Sherina. Orang tua seperti dihadirkan dua tipe anak hasil pola asuk yang bertolak belakang. Pada kenyataannya, hal ini akan ada di sampai kapan pun dalam berbagai spektrumnya.

Happy yang produk urban jaman now, yang tidak mengerti bagaimana asiknya bermain bersatu bersama alam. Saya merasa Happy adalah kepribadian Cinta AADC dalam bentuk anak-anak. Anak-anak yang adaptif terhadap pergaulan dan lingkungan sehingga terkesan tidak punya prinsip. Ikut semua “aturan” komunitas agar diterima dalam komunitas tersebut.

Di kutub lain ada seorang Sam yang tumbuh di pantai dan berjiwa petualang. Orangtuanya sengaja menjauh dari hingar bingar kota dan memilih lingkungan pedalaman Rote sebagai lingkungan latar Sam akan dibesarkan. Karena itulah Sam begitu menyatu dengan alam. Tapi, kemenyatuan Sam dengan alam (serta tinggalnya di pedalaman) inilah yang menyebabkan Happy menganggap Sam kampungan. Sebaliknya, Sam sendiri menganggap Happy sok dan sombong. Hal ini didasarkan pada cara Happy bergaul dengan teman-temannya dan juga cara Happy membawa diri dan memperlakukan Sam.

Terkadang saya merasa relate dengan Happy, namun sering kali dengan Sam. Satu hal yang saya paling merasa relate dengan Happy, sikap Happy ketika bertemu alam pedesaan. Itulah juga yang saya lakukan ketika masih di pertama kali datang ke daerah asal suami saya. and he said, ”Kamu tuh harus tahu cara bersikap. Nggak pantes.”. Ketika itu saya marah besar karena merasa tidak ada yang salah dengan apa yang saya lakukan. Tapi, setelah melihat yang dilakukan Happy dari kacamata Sam, saya mengerti mengapa ketika itu suami saya marah.

Sisanya, saya lebih relate dengan Sam. Saya mengalami pergi ke sekolah dengan menggunakan sendal jepit dan kantong kresek. Bukan karena orang tua saya tidak mampu, tapi karena saya melihat teman-teman saya melakukan hal itu juga. Hahaha. Dan ketika pindah ke kota saat kelas 2 SD, saya mengerti apa yang teman-teman saya lakukan pada saya, dengan melihat pandangan Happy terhadap Sam. Bagi orang-orang seperti Happy, mereka memiliki kualitas lebih dibadingkan orang-orang seperti Sam. Padahal ketika menghadapi kesulitan yang nyata, nyatanya, Sam lebih mampu menghadapinya dengan cara yang lebih baik, tidak seperti orang-orang Happy yang seperti mengandalkan kepemilikannya terhadap uang. Sayangnya, saya tidak punya keberanian dan keahlian yang dimiliki oleh Sam untuk “menghadapi” orang-orang semacam Happy.

 

And I like the song… Welcome back ‘lagu anak’….

Perempuan dan Islam

Inti dari masalah perempuan di seluruh dunia dari jaman dahulu kala… yang saya lihat adalah… tidak diakuinya identitas perempuan sebagai dirinya sendiri. Perempuan membutuhkan ayahnya atau suaminya untuk menjadikannya terhormat. Ayah tidak bisa selamanya melindungi. Maka, bisa dimengerti, bagaimana seorang perempuan begitu mengagungkan pernikahan. Hidupnya hanya untuk menikah. Jadilah dia rela dimadu atau menjadi istri keberapapun dari seorang pria terhormat. Kehidupan rakyat jelata memang tidak begitu. Ini adalah masalah kehormatan.

Saya mengerti seberapa mengerikan bila adat jawa bertemu dengan agama yang sebagian. Agama tidaklah salah. Orang yang memakai pembenaran agama untuk nafsunya, itulah yang menjijikan. Saya hanya bisa kasian pada orang-orang seperti itu. Bukankah seharusnya agama membawa kita ke arah pembebasan bukan semakin mengurung kita. Saya hanya bisa kasian pada orang-orang seperti itu. Yang salah satunya adalah orang terdekat saya. Sungguh kasian dia itu.

Padahal sepatutnya… Islam sebagai agama adalah jalan pembebasan. Termasuk mengenai hal ini. Kehormatan perempuan dalam Islam bukanlah ditentukan akan keberadaan dan keadaan suaminya. Maryam tidak memiliki suami namun tidak dapat dipungkiri bahwa dia adalah perempuan suci yang mulia. Asiah memiliki seorang suami namun dzalim luar biasa, dia mengaku Tuhan, hal tersebut tidak mempengaruhi kemualiannya. Khadijah yang mendampingi Rasulullah dalam keadaan tercukupi bahkan menyerahkan seluruh hartanya untuk perjuangan suaminya merupakan ibunda kaum muslim yang sampai kapan pun tidak tergantikan. Namun, jangan sedih, ada juga Fatimah yang bersuamikan Ali yang saat mereka hidup bersama Ali belum mencapai masa ketercukupannya, dia juga perempuan mulia. Perempuan-perempuan ini tetap mulia karena ketaatan dan ketaqwaannya kepada Allah.

Kita perlu adil dalam memandang agama. Jangan salahkan mobil bagus yang kecelakaan karena supirnya yang tidak mampu mengemudikannya. Dah gitu aja…

#ngomongsamakacatanggal21April

Catatan ajah (nggak ada orang kotanya)

Udah hampir sebulan aja nih nggak update. Maklumlah sok sibuk…

Banyak hal yang gue pelajari akhir-akhir ini… terutama tentang hal-halnya yang tadinya gue pandang “kok githu banget sih???”

  1. Tentang fungsi gelar pada undangan.

Ini adalah sesuatu yang tadinya ku pikir sebagai ajang kesombongan. Belum-belum lagi apabila kedua pengantin ataupun orang tuanya memiliki gelar yang tidak berimbang. Akan tetapi.. dilain pihak, ternyata gelar adalah sebuah tanda pengenal. Terlebih untuk orang-orang dengan nama yang standar.

  1. Tentang nama yang dituliskan dalam amplop.

Malah ada yang membubuhkan kartu nama. Tadinya saya piker, idih kok pamrih amat, ngasih amplop isinya nggak seberapa juga. Ternyata hal ini dimaksudkan karena… dalam sebuah hajatan yang dating bukan hanya undangan dari satu orang. Ada undangan orang tua, ada undangan mertua, juga ada undangan pengantin sendiri. Hal ini berfungsi untuk menunjukan kepada siapa sebenernya isi amplop ditujukan. Untuk kalangan tertentu yang sudah tidak bisa menyempatkan waktu untuk membeli hadiah, memberikan amplop adalah solusi teroptimal. Kalau amplop tersebut tidak diberi nama, maka akan timbul keragu-raguan kepada siapa amplop ditujukan. Dan si pemberi pun khawatir kalau hadiahnya tidak sampai. Toh, ketika kita memberi hadiah pun, pasti dituliskan dari siapa hadiah tersebut.

 

Maaf cuman nulis segini hari ini…. Masih pening….jetlag….

Catatan Ajah (3)

Gue seneng banget akhir-akhir ini. Karena kerasa banget usahanya Mas Suami untuk membuat gue seneng dan bahagia dan betah di sini. Setelah gue cerita kalau gue ke bawa mimpi kabur dari sana. Lari-lari. Sebenernya yang dilakukan dia sederhana banget. Cuman… usahanya itu yang bikin terharu… hm… Ya…. KADANG, perempuan itu cuman butuh liat usaha doank. Tapi SERINGnya minta hasil juga sih. Sejauh ini, dia selalu ngasih (atau se-enggak-nya dia berusaha untuk ngasih) apapun yang gue minta. Itu yang ngebuat gue makin sayang sama Mas Suami kesayangan.

Gue kemarin cerita ke suami gue kalau pengen jalan-jalan. Di sekitaran sini ajah, nggak usah jauh-jauh. Keliling kampung aja. Gue juga cerita tentang imajinasi gue nyusup-nyusup dan investigasi bak semacem wartawan n detektif githu. Dan beneran langsung diajak jalan-jalan pake motor. Keliling-liling. Dan… kampungnya luas banget. Isinya beneran cuman hutan belantara, sawah padi, ladang tebu dan beberapa pabrik (sayang bukan pabrik makanan dan garmen, kalau iya gue bakal bahagia, mungkin). Hampir nggak ada orang di ladang dan sawah. Karena bukan saatnya nyemai n panen. Imajinasi gue tentang perkumpulan-perkumpulan “dakwah” itu ternyata salah. Aku banyak bertanya selama perjalanan. Dia pun bercerita..

“Ya begini lah neng. Cuman ini doank disini. Di desa ini, kebanyakan penduduknya punya lahan pertanian. Lahan yang dipunyai ini ada yang ditanam tebu ada juga padi, ada juga yang dibiarin tumbuh tanaman liar, yang kata kamu hutan belantara itu. Semua tergantung keinginan yang punya lahan. Jadi bukan lahan yang dipunyai korporasi lalu petani bekerja seperti buruh. Bukan seperti itu. Nah, mereka sibuk bertani hanya pada saat menanam dan panen. Selebihnya mereka jadi buruh pabrik gula dan pabirik lainnya disini, ada juga jadi pengrajin batu bata, pengrajin genteng, pengrajin kusen, berdagang atau apapun yang bisa dilakukan buat menyambung hidup mereka. Setelah panen, mereka akan menjual beras dan tebu mereka. Gabah mereka jual ke pengumpul beras yang nanti akan menjual beras ke pihak lain. Setelah mereka menyisihkan untuk kebutuhan mereka (hm… jangan pikir, berasnya kualitas pandan wangi atau rojolele ya…-red). Tebu mereka jual ke pabrik gula. Pabrik gula agak keenakan sih disini. Mereka pegang monopoli tanpa harus memiliki lahan. Kelebihannya, mereka adalah petani-petani yang merdeka dari korporasi. Kekurangannya kalau gagal panen, tidak akan ada yang menanggungnya selain mereka sendiri.”

Menjadi buruh bukan jadi mata pencaharian utama buat mereka. Mereka tidak peduli dengan May day. Mereka hanya tidak terdidik. Mereka pun bukan petani pekerja, mereka pemilik lahan. Mereka sebenarnya mempunyai nilai asset yang bisa jadi melebihi orang mapan di kota. Agak aneh sih dalam hemat gue kalau paham K****** bisa tumbuh subur di sini, dulu. Bukankah sebagai pemilik lahan, hak mereka malah akan hilang ketika K******* benar-benar berkuasa dan menerapkan sistemnya? Jawaban mas Suami adalah…

“Karena yang mau bersusah payah meng-“edukasi” mereka tentang “bergerak” adalah itu, maka mereka akan “bergerak” untuk itu. Platform ideologi terlalu mahal disini. Mereka tidak tahu, tidak mengerti, tidak memahami dan tidak peduli apa yang ada dalam platform pergerakan. Mereka membutuhkan sesuatu yang cukup bisa dipercaya untuk memberi tahu apa yang perlu mereka kerjakan. Singkatnya mereka kurang terdidik dan tidak menghargai pendidikan sehingga terjadi hal-hal yang menurut kamu aneh tadi. ”

Dan hal yang menyakitkan adalah… suatu ketika gue dan mas suami mau shalat di masjid, awal waktu, jadi dalam pikiran kita bakalan ada shalat berjamaah. Dan you know what? Kita nungguin kira-kira setengah jam an. Dan belum ada yang adzan dan shalat. Warga disini terlalu sibuk untuk sekedar mengurusi masjid. Yang muda dan berkualitas kabur ke kota. Yang sudah berhasil di kota enggan kembali ke desa. Melihat tidak ada harapan di desanya. Aku mulai mengerti bagaimana mas Suami memandang kehidupan. Dan aku semakin salut padanya. Lalu aku bertanya… sebenarnya seperti apa kehidupan beragama disini.

“Ya seperti tadi aja dek. Mungkin agamanya orang sini itu bekerja (pantesan tagline pak presiden itu KERJA). Spiritual yang masih asli pemikiran sini banyaknya ya kejawen. Kalau udah ke kota ya bisa jadi Muhammadiyah karena dekat dengan Yogya. Atau kalau ke pondok ya dekat dengan Salafi.”

Komen terakhir gue adalah… “Semoga kita bisa lebih memahami Pak Presiden kita yang tidak bisa menjawab makna Ramadhan. Semoga dengan menjadi Presiden, adalah jalan bagi beliau untuk memperbaiki kualitas imannnya. Amiiinnn.”
*naon atuhlah…*

Hm… Buat Mas Suami, makasih ya atas jalan-jalannya… dan juga semua usaha yang udah dilakuin…
*seorang produk urban nulis sambil dengerin lagu Ariana Grande, ditempat dimana, gue nggak yakin banyak yang tahu siapa itu Ariana Grande*

Catatan Ajah (2)

Akhirnya gue menemukan tempat yang asyik buat gue ngautis. Gue udah menemukan lagi ladang aktualisasi gue. Setelah sebelumnya gue sampe kebawa mimpi pengen kabur. Gue sekarang udah bisa melakukan kegiatan-kegiatan yang biasanya gue lakukan sebelum gue pindah ke… SURUH PABRIK… ya itulah ternyata nama daerahnya… Gue kembali menemukan kenyamanan untuk menunjukan aktualisasi gue. Walau gue berada di… SURUH PABRIK, POLOKARTO (ternyata bukan PULOKARTO namanya – itu diedit ma Mas Suami) yang gue juga nggak tau ini Sukoharjo atau Karanganyar… ya begitulah…

Gue dapet cerita dari mas Suami…. Daerah ini terdiri dari hutan belantara, pertanian padi, pertanian tebu dan pabrik gula. Jujur aja, jiwa petualang gue menelisik. Pengen nyusup-nyusup ke ladang tebu, pabrik gula, perkumpulan petani. Ada yang ber”dakwah” nggak ya disini? (ah iya gue lupa kalo gue nggak bisa bahasa Jawa, gimana juga cara investigasinyahh???) Daerah ini adalah daerahnya PETANI dan BURUH. Ya, empuk banget buat paham K******. Ah, gue kok jadi perempuan sok berani banget ya??? Yang ada pasti dilarang mas Suami lagi.

Ya, mas Suami juga cerita kalau daerahnya dulu memang salah satu daerah pemberontakan yang kemudian “dibersihkan”. Bahkan ada saudara jauhnya (entah sejauh apa, bisa jadi sebenernya adalah saudara sepupu dari ipar dari iparnya orang tua, pokoknya masih saudara) yang terkena operasi “pembersihan”. Dari cerita yang disampaikan mas Suami,

mereka (keturunan dari korban) tidak tahu, tidak mengerti dan tidak peduli negara mau minta maaf atau gimana lah itu atas operasi yang telah dilakukan. Itu hanya keributan tingkat elit.

Hayahhhhh… Mereka hanya butuh meneruskan hidup mereka. Itu saja.

Kalau negara minta maaf dengan meningkatkan kualitas pendidikan dan kualitas hidup masyarakat itu akan lebih baik dan lebih konkrit dalam hemat gue (SOTOY dah).

Coba pikirkan ya buat kalian-kalian yang punya ambisi jadi “pemimpin bangsa”.

Gue mulai bisa melihat sesuatu yang nyata. Yang selama ini cuman ada dalam imajinasi gue. Yang selama ini cuman ada dalam cerita-cerita yang gue baca. Bisa dibilang, disini adalah tempat sangat menarik untuk di-explore, cuman gue belum tahu gimana cara nge’explore’nya. Doakan gue bisa segera menemukan cara untuk explore dan ngebagiin nya buat kalian. Para produk urban, “orang Indonesia”. *kayak ada aja yang bakalan baca*

*Produk urban yang kangen jaringan LTE di daerah dimana lagu-lagu Afgan nggak ada yang relevan*

Catatan Ajah (1)

Selama ini yang biasa ditulis dan menjadi buku best seller adalah pengalaman orang kampung ke kota. Sedikit yang berkisah tentang pengalaman orang kota yang pergi ke desa. Mas Suami memutuskan untuk tinggal ditempatnya mas Suami. Di SOLO, lebih tepatnya di perbatasan antara kabupaten karanganyar dan sukoharjo. Kalo di gmap, nama daerah ini disebut PULOKARTO. Dua kabupaten ini saja banyak dari kalian yang mungkin nggak tahu. Karanganyar mungkin banyak yang dengar, karena disinilah makam pak Harto dan bu Tien. Letaknya ada di selatan kota Surakata. Kota asalnya Pak Presiden kita tercintah. Tempat gue ini diperbatasannya dua kabupaten itu, bukan di kota kedua kabupaten tersebut. Oh, tiba-tiba aja gue kangen pak Aher dan kang Emil… (naon deui….. Hmmm…. Jujur aja gue sampe kebawa mimpi kabur dari sini…. Terus gue ngerasa gue lebay banget nget nget…)

Gue emang tinggal di sebuah desa pedalaman di daerah Kabupaten Kuningan. Nama desanya Cibingbin. Gue tinggal di sana sampe kelas 2 SD, setelah dari lahir sampe umur 3 tahunan gue hidup di Bandung. Tapi setelahnya gue selalu tinggal di lingkungan perkotaan. Walaupun itu di Kota Serang yang dulu belum jadi ibukota Banten, Banten nya belum ada. Tapi itu masih lumayan di daerah kota nya. Kalau dibandingkan dengan Pandeglang misalnya aja. Kalo dibuat perbandingan, Serang itu KOTA SURAKARTA, dan Tempat gue sekarang ini adalah pedalaman perbatasan LEBAK dan PANDEGLANG. Dan gue menjadi takjub kenapa bisa dapet jodoh, Mas Suami.

Nah, sejak umur 15 tahun, praktisnya gue tinggal di Bandung. Sebuah kota metropolitan. Dapat didikan modern, demokratis. Bahkan gue bingung ketika di tanya Suku Bangsa. I’m not pure Sundanese, I’m 75% Javanese, but I can’t understand (bororaah Speak) Javanese. Dan ciri-ciri kedua suku tidak begitu kental dalam diri, saya sadar betul akan hal tersebut. I’m just like to call my self, I’m Indonesian. I’m urban product. Walau kadang (atau sering ya???) kampungan. Kyakakakakakakk….

Hal menarik pertama yang bisa gue sebut adalah… Banyak disini yang berbahasa Indonesia pasif, tapi gue sendiri nggak bisa bahasa jawa at all. Gila kagak tuh? Pengen mati aja gue rasanya. Jangankan kemampuan bahasa Inggris, toefle 500.

Hal menarik kedua adalah… tempat gue ini, nggak tersentuh moda transportasi umum. So, adalah gue yang biasa ke sana ke mari SENDIRI. Mandeg nggak bisa kemana-mana tanpa dianter jemput mas Suami. Seorang gue yang terbiasa melakukan semuanya sendiri. Tiba-tiba sangat bergantung ke satu orang, Mas Suami. Terpikir oleh gue untuk minta diajarin pake motor, karena jujur aja gue trauma pegang mobil.

Terus Mas Suami malah bilang gini, ”kalau pun kamu nanti bisa pake motor, emang bisa ngendarain di jalan raya. Kan kamu cerita sendiri, kamu bisa sepedah tapi nggak bisa ngendarain di jalan raya. Daripada aku ngajarin kamu motor, mendingan aku beliin kamu sepedah.”

Dan gue jadi mikir. Lupakan belajar motornya.
“Ada bis kan disini?”
“tapi buat orang sini, kalau perempuan pergi sendiri naik bis itu nggak baik neng.”
“WHY????” kata seorang gue yang terbiasa pergi dari Bandung ke Jakarta seorang diri. Bahkan pergi ke Surabaya sendiri. Cuman pergi naik bis loh bang. Dan gue mau cari kerja.

Dan lalu gue pengan misuh-misuh ke pak Presiden… “Pak… ini sebelah selatan daerahmu loh…. Please atuhlah….”

Terus gue juga pengen nangis-nangis ke bu Menteri Pemberdayaan Perempuan…

“Bu, tolong atuhlah… Ini pulau jawa loh bu…”

dan lalu gue inget… mungkin MALAH karena ini pulau jawa. Kartini berasal dari Jawa. Suku di Indonesia yang paling kental patriarkinya, (mungkin sama dengan Batak… SOTOY banget gue…). Gue LUPA kalau ini JAWA. OMG!!!! Tiba-tiba aja gue kangen ibu kita KARTINI, putri sejagti, putri yang mulia, yang harum namanya… Buat kalian yang bilang emansipasi kebablasan… ARGH!!!! Gue pengen ngamuk-ngamuk sama kalian…

Hal yang membahagiakan gue adalah, gue berani jamin bahwa hape gue adalah salah satu yang terbaik di sini. Tapi hal yang menyiksa gue adalah… Gue harus naik mobil ke kota Solo untuk mendapatkan sinyal LTE. Ya, karena itu gue yakin, HP gue adalah salah satu HP terbaik di sini.

Catatan ajah... mungkin akan ada seri berikutnya