Kayaknya tulisan ini sih basi. Gara-gara RUU P-KS, mau tidak mau saya terpantik untuk menyenggol-nyenggol masalah feminism. Sebagai sebuah ide yang merangsang otak, cukup menarik untuk mempelajari apa itu feminism sebagai sebuah “teori baru”. I always love new theory in my life. It’s like breathing (INTJ live). Sebenarnya tidak benar-benar baru bagi saya. Tapi menelisik sampai ke akarnya tidaklah dengan waktu yang sebentar.
Tadinya saya berpikir bahwa feminism hanyalah sebatas dari meminta persamaan hak agar perempuan juga dapat mendapatkan hak-hak yang sama dengan laki-laki. Lalu saya tahu bahwa feminism dasarnya adalah agar perempuan mempunyai kendali terhadap tubuh dan pikirannya sendiri. Sebagai seseorang yang dididik dengan kepercayaan yang cukup besar dari orang tua dilingkungan urban. Saya tidak mengerti mengapa seseorang sampe bisa tidak punya kendali terhadap tubuh dan pikirannya sendiri. Saya tidak mengerti kenapa seorang perempuan bisa menjadi masyarakat kelas dua. Saya tidak punya diperlakukan berbeda karena saya seorang perempuan oleh orang tua saya, karena saya tidak punya saudara laki-laki mungkin. Tapi memang secara mayoritas dalam keluarga besar saya memperlakukan perempuan dan laki-laki sebagaimana porsinya. Saya tidak pernah diperlakukan berbeda dengan sepupu saya yang laki-laki oleh kakek nenek saya. Ketika dia main layangan, manjat pohon, naik kuda, masuk kendang ayam dan ke sawah, saya tidak pernah dilarang untuk melakukan semuanya karena saya seorang perempuan. Pengalaman hidup saya tidak pernah mengenalkan saya pada keadaan tidak bisa berkuasa akan tubuh dan pikiran saya sendiri karena saya seorang perempuan.
Hal itu sangat asing sampai sesuatu terjadi pada hidup saya yang harus merubah lingkungan saya menjadi sangat tradisional. Dan disana juga saya baru mengerti mengapa ada perempuan-perempuan yang tidak punya kendali terhadap tubuh dan pikirannya sendiri. Dan puncaknya adalah saya pernah hampir gila karena merasa tidak punya kendali terhadap tubuh dan terutama yang paling penting adalah saya tidak punya kendali terhadap pikiran saya sendiri. Ya, SAYA HAMPIR GILA. Tapi untungnya semua telah berakhir.
Lalu saya pun tahu mengapa bisa seorang perempuan tidak bisa punya kendali terhadap tubuh dan pikirannya sendiri. Salah satunya adalah sistem nilai masyarakat umum Indonesia yang cederung patriarki. Sehingga bisa dikatakan bahwa pendapat perempuan tidaklah layak untuk dipertimbangkan, suara perempuan tidaklah layak untuk didengar, bahkan saya merasa seorang perempuan dibiarkan hidup saya sudah merupakan keberuntungan. Mungkin karena ini dulu saya selalu punya sugesti bahwa saya akan dibunuh suatu saat nanti jika terus berada disana. Karena kuasa saya akan tubuh dan pikiran saya tercerabut. Dan sistem nilai itu diamini oleh para kaum perempuannya itu sendiri, setidaknya di lingkaran saya saat itu. Karena dia TIDAK punya kebutuhan dan pengalaman akan keberkuasaan dirinya atas TUBUH dan PIKIRANnya. Dia tidak mengerti urgensi dari kepemilikan kuasa akan TUBUH dan PIKIRANnya. Seperti orang buta huruf yang tidak mengerti kebutuhan akan buku sebagai gizi bagi pemikiran, dia mungkin tak mengerti kebutuhan gizi bagi tubuhnya.
Untungnya, saya mendapat didikan agama yang lumayan kuat dari keluarga, sehingga walaupun saya bisa mengerti keresahan akan sistem nilai patriarki yang terlalu mendominasi dalam kebudayaan masyarakat umum, saya akan kembali kepada agama saya dalam memandang hal tersebut. Selama ini saya selalu mendengar bahwa Islam tidak butuh feminism. Secara norma dan nilai, PEREMPUAN SEMPURNA DI DALAM ISLAM. Saya yakin akan nilai tersebut tetapi sayangnya saya menemukan sebuah kenyataan pahit bahwa Islam belum berhasil merealisasikannya dalam kehidupan nyata. Bahkan kadang dijadikan alat supaya kesenjangan menjadi benar. Lalu apakah solusinya adalah feminisme? Tidak ada jaminan juga bahwa feminism akan berhasil bukan? Apalagi feminism didasarkan kepada kesetaraan gender. Panjang lagi dah ceritanya nanti. Honestly, it like breath in dirty air.
Menurut saya, akan menarik jika para pemuka agama yang selalu bicara bahwa Islam tidak butuh feminism itu lebih menyakinkan para Muslimah bahwa dia punya kuasa terhadap tubuh dan pikirannya dibarengi dengan penyadaran seberapa berharga dan dinilaiagungnya tubuh dan pikirannya. Jangan biarkan tubuh dan pikiran para Muslimah ini terlacurkan demi dunia yang sebentar. Yang dilacurkan bukan hanya tubuh, tapi pelacuran pikiranlah yang lebih banyak terjadi. Pelacuran pun tidak hanya dilakukan perempuan tapi juga laki-laki.
Satu hal yang juga saya ingin kritisi adalah pemuka agama yang berkata itu kebanyakan laki-laki atau mungkin perempuan yang tidak memiliki pengalaman kuasa akan tubuh dan pikirannya tercerabut sehingga mereka kurang empati terhadap para Muslimah yang menjadi objek dari pemikiran ini. Malah bisa dianggap sebagai re-doktrinasi patriarki. Mungkin bisa mengambil hati dengan berempati pada nilai-nilai partriarki yang lebih banyak memberikan privilege kepada kaum laki-laki dan bagaimana Islam sebenernya memandang hal itu. Misalnya, ada beberapa konstruk sosial kita yang tidak menganggap pandangan dan suara perempuan karena pada umumnya perempuan dimana konstruk sosial itu terbentuk tidak punya akses pendidikan yang sama dengan laki-laki, bagaimana Islam memandang hal itu dan memberikan solusi untuk hal itu? Apakah persamaan akses terhadap Pendidikan adalah solusi akhir? Saya kira tidak cukup. Atau jangan-jangan langkah yang diambil malah menutup akses sama sekali bagi perempuan agar ketiadaan suara perempuan menjadi lestari. Haduh…
Jadi, apakah Islam butuh feminism?