Mempersepsikan Realitas

Orang yang depresi kehilangan koneksi dengan realitas. Pikirannya tidak dapat mempersepsikan realitas secara objektif. Agar terciptanya koneksi antara pikiran otomatis dan realitas, maka perlu dihadirkan pilihan pikiran yang berbeda dengan pikiran otomatis yang timbul akan peristiwa pencetus agar pikiran kita dapat memilih pikiran yang lebih adaptif. Ketika pikirannya sudah lebih adaptif, maka kita dapat melakukan evaluasi terhadap perilaku seperti apa yang bisa kita lakukan untuk menghadapi peristiwa pencetus yang terjadi.

Pemikiran otomatis dapat timbul akibat alur pemrosesan stimulus yang sudah berlangsung bertahun-tahun sehingga menjadi kebiasaan kita dalam mempersepsikan realitas. Hal ini menjadi masalah ketika kita mempercayai bahwa pikiran otomatis tersebut merupakan realitas yang tak terbantahkan. Dengan menghadirkan pilihan pikiran yang berbeda kita dapat sedikit demi sedikit mengubah alur pemrosesan stimulus kita sehingga pemikiran otomatis yang timbul juga dapat berubah. 

Perasaan berbeda dengan emosi. Emosi adalah suatu yang timbul secara otomatis terhadap sebuah realitas. Sedangkan perasaan adalah persepsi terhadap emos, bisa merupakan pikiran otomatis. Ada beberapa mitos mengenai perasaan.

Mitos yang pertama adalah bahwa kita hanya bisa merasakan satu emosi dalam satu waktu. Kenyataannya kita dapat merasa marah sekaligus sedih dalam satu waktu. Emosi memiliki spektrum dalam intensitasnya, pada emosi sedih ada sedih sekali, sedih biasa, sedikit sedih. Begitu juga pada emosi marah dan emosi lainnya. Manusia berperilaku digerakan oleh emosi. Bagian otak yang memproses logika dan emosi ada di bagian yang berbeda. Wajar ketika keduanya tidak beriringan. Secara logika, kita mengetahui bahwa anak kita tidak bermaksud merusak barang kesayangan kita sehingga kita pun merasa empati perasaan sedih dengan intensitas yang rendah terhadap anak kita. Namun, kita tetap merasa marah dengan intensitas tinggi kepada anak kita yang telah merusak barang kesayangan kita. Maka tidak bisa menjadi SEHARUSNYA kita tidak marah karena kita merasa sedih, atau sebaliknya. Karena semua perasaan adalah valid, boleh dirasakan bagi yang merasakannya.

Mitos yang kedua adalah emosi negatif selalu bersifat destruktif. Tidak ada emosi positif atau pun emosi negatif. Karena emosi mempunyai perannya masing-masing dalam melakukan kontruksi di dalam kehidupan kita. Apabila kita tidak beremosi takut terhadap ular berbisa. Maka hidup kita pun akan terancam bahaya. Karena emsoi takut itu lah yang membuat kita berpikir bagaimana agar kita dapat melewati bahaya sehingga dapat bertahan hidup dari ular berbisa.    

Mitos ketiga adalah orang lain bisa mengetahui perasaan kita. Kenyataannya persepsi terhadap apa yang dirasakan seseorang belum tentu benar. Kita sering enggan mengungkapkan apa yang kita rasakan seringkali disebabkan oleh kita yang enggan mengakui dan menerima perasaan kita sendiri. Kalau kita saja keliru dalam mengenali perasaan kita sendiri bagaimana dengan orang lain. Sehingga kita perlu mengkomunikasikan perasaan kita secara asertif.

Mitos ke empat adalah rasa sakit emosional tidak penting sehingga saya harus mengabaikannya. Sama seperti rasa sakit fisik, rasa sakit emosional akan menjadi penyakit yang kronis apabila terus diabaikan.

Mitos ke lima adalah emosi saya menentukan siapa saya. Kita enggan merasakan emosi takut karena enggan di cap sebagai penakut. Padahal emosi takut tersebut melindungi kita dari bahaya dan membantu kita untuk bertahan hidup. Emosi bukanlah diri kita, itu hanya bagian dari kita, alat kita untuk bertahan hidup. Maka dari itu kita perlu untuk menyadari dan menerima emosi yang datang kepada kita, serta menyalurkannya dengan cara yang asertif.

Tinggalkan komentar