Telepon seluler Febian berdering. Febian tahu siapa yang menghubunginya. Kalau bukan Ariana, pasti itu dari orangtuanya. Tidak mungkin orang yang diinginkannya, WIdya.
“Iya Pak…”
“Berita kamu sama Ariana itu benar?” kata bapaknya
“Febian cuman berteman saja dengan dia pak… Media yang berlebihan.”
“Tapi kenapa beritanya begitu besar Feb?”
Febian ingin menjawab karena dia adalah pemenang dan Ariana adalah seorang artis. Punya nilai berita yang begitu tinggi. Tapi keluarganya tidak akan mengerti.
“Lain kali Feb akan lebih berhati-hati pak…”
“Ibu mau bicara Feb…” kata bapaknya disebrang telepon sana.
“Ini ibu Feb… Feb… ibu cuman pesan kamu sekarang sudah jadi orang. Bapak dan ibu mungkin tidak bisa membimbingmu sepenuhnya. Kamu bisa berhubungan dengan siapapun yang kamu mau. Bapak dan ibu hanya berpesan, jaga nama baik keluarga dan orang tuamu yang sudah mulai renta ini Feb…”
“Kamu masih muda Feb, masih 20 tahun. Ariana itu sudah 25 tahun. Sebentar lagi dia pasti akan memintamu untuk memperjelas hubungan. Bapak dan Ibu masih ingin kamu fokus pada prestasimu saja dahulu. 7-8 tahun lagi lah baru kamu berpikir tentang keluarga.” Bapaknya memberikan nasehat dengan lebih lugas dan rasional.
Ingin sekali Febian menghubungi Widya. Namun, dengan kejadian kemarin, tentu Widya tidak mau lagi menghubungi dan dihubungi lagi olehnya. Jadilah dia menghubungi Ariana. Tapi kemudian diurungkannnya. Dia tidak bisa terlihat buruk di depan Ariana. Dia tidak cukup percaya pada Ariana.
***
Turnamen setelah semuanya terjadi, Febian kalah dipertandingannya yang pertama.
“Feb, kamu itu kenapa? Latihan nggak konsen, saya bilangin cuman bengong, kamu keasikan pacaran ya sama si artis itu. Siapa namanya? Rihana?” omel pelatih Febian, Pak Taufik.
Febian hanya diam. Febian menemukan sedikit komedi diantara semua tragedy yang sedang melandanya. Pelatihnya salah menyebut nama Ariana.
“Kamu itu masih muda. Lima tahun lagi juga masih banyak yang mau sama kamu. Kamu sekarang lagi ada di umur emas-emasnya. Kamu harus fokus sama pertandingan. Karier kamu. Saya minta fokus kamu 5 tahun lagi aja.”
Pelatih Febian pun berlalu. Tanda evaluasi telah berakhir. Denny yang lanjut ke babak selanjutnya menghampiri Febian.
“Feb, lo akhir-akhir ini beda deh. Latihan nggak konsen, dimarahin pelatih belaga bego, dan yang paling aneh adalah lo nggak mau di wawancara lagi. Biasanya kan lo paling seneng kalo mbak WIdya dah nongol” Denny memberi tatapan aneh pada Febian.
“Gue lagi bad mood aja Den. Khusus masalah wawancara, lo kayaknya lebih jago buat ngadepin media. Lo kan anak Jakarta.” Kata Febian. Dahulu memang Denny yang mengajari Febian tentang media.
“bad mood kenapa sih? Rihana? Lu pikir lu Chris Brown apa?” kata Denny sambil tertawa.
“Ah, lo ikutan pak pelatih aja. Lagian gue bukan bete gara-gara Ariana kok.”
“Lah terus?”
“Complicated deh pokoknya.”
“Feb, lo nggak boleh gini donk. Lu nggak bisa nyekip 2 turnamen ke depan loh. Itu turnamen penting dan bergengsi. Kalo keadaan lo masih kayak gini, lo bisa turun ranking. Sebulan dua bulan lo kayak gini terus, bisa-bisa lo degradasi dari pusat pelatihan.”
Febian kembali hanya diam. Dia tak ingin apapun. Dia hanya ingin mengetahui kabar mbak Widyanya.
“Sekarang Ariana dimana ketika lo lagi jatuh gini? Tu mbak-mbak beneran ya. Cuman ada saat lo menang doank.”
“Gue yang nggak angkat teleponnya.”
“Kalau githu lo yang gila. Cewek cantik kayak githu lo cuekin, meskipun mbak-mbak sih.”
“Gue nggak bisa terlihat jelek didepan dia.”
“Harusnya kalo emang dia cewek yang baik ya Bi, dia harusnya bisa nge-treat lo pas lagi gini.”
“Gue yang nggak sanggup ‘telanjang’ di depan dia? Gue kurang percaya sama dia.”
“Au ah gue nggak paham cerita cinta sama mbak-mbak. Cinta gue cuman buat raket gue” kata Denny sambil mencium raketnya.
***
“Mbak, gawat.” Kata Lukman diujung telepon menelepon WIdya yang berjaga di Gedung DPR. Sekarang sedang tidak ada berita yang terlalu penting disana. Lagi adem.
“Kenapa Man? Kok tumben banget kamu telpon mbak. ”
“ya karena gawat makanya aku sampe telepon mbak. Febian bener-bener nggak mau ngasih kata-kata, mbak. Padahal kan dia kalah di babak pertama itu kan hal yang sangat besar.”
“Ah… lagian kalian sih… kemarin waktu dia menang. Yang diberitain Ariana. Sekarang dia kalah juga mau diajdiin berita. Beneran ya lo pada.”
“Sekarang juga beritanya masih Ariana mbak… Gosipnya dia kalah karena konsentrasinya terbagi karena pacaran sama Ariana.”
“Ya makin nggak mau lah dia Man.. Kalian itu kan wartawan olahraga, kenapa berita nggak berbobot gt yang kalian turunin? Mbak pernah ngajarin kayak gt nggak? Kita cukup tahu aja mengenai kehidupan pribadi mereka. Supaya bisa jadi info dasar kita bikin berita. Bukan sebagai berita utama.”
“Ya, orang yang jadi keingintahuan publik kan itu mbak.”
“Tapi agenda medianya apa? Agenda publiknya apa? Pentingnya memenuhi keingintahuan public tentang hal itu apa?”
Lukman hanya diam. Mati dia dicecar seniornya.
“Tapi kan tim redaksi setuju mbak.”
“Kamu tahu nggak keluhan mereka sama mbak. Kalian mampunya cuman ngambil sudut pandang yang itu. Kalian bener-benere bikin mbak malu dan merasa gagal membimbing kalian. Ya dari pada nggak ada berita, itulah yang diturunin. Lagi hype banget kan turnamennya. Kalo nggak ada beritanya malah aneh.”
Widya puas menumpahkan kekesalannya pada juniornya itu.
“Jadi gimana donk mbak?”
“Oke. Mbak, coba ngomong dulu sama mas Wayan. Kalo mas Wayan bisa gantiin mbak disini untuk sementara. Mungkin mbak bisa bantu disana. Untung disini lagi adem.”
***
Widya pun mendatangi Febian di pusat pelatihan. Wayan mengerti kekacauan apa yang sedang terjadi. Dia pun menggantikan Widya berjaga sementara Widya menyelesaikan masalah yang dibuat Lukman dan kawan-kawannya tanpa pikir panjang. Seusai latihan, dia menghampiri Febian. Febian yang saat itu masih dalam keadaan mood yang buruk. Melihat Widya didepannya, Febian tak tahu harus bagaimana. Febian tak tahu harus bersikap pada Widya sebagai wartawan yang harus dia hindari atau sebagai wanita yang dirindukannya. Febian hanya sanggup diam dengan mata berkaca-kaca.
“Mbak datang sebagai kakak, Bi.”
Febian kembali bingung. Harus bagaimana dia bersikap.
“Bersikaplah sebagai adik mbak. Jangan lebih, karena mbak akan pergi kalau itu terjadi.”
Febian akhirnya hanya menangis sesengukan di depan Widya. Satu satunya manusia yang dia percaya untuk melihat semua kelemahannya.
“Ada apa Bi? Coba cerita sama mbak.”
Febian pun menumpahkan semua hal yang menjadi ganjalan hatinya selama ini. Hubungannya dengan Ariana, permohonan orang tuanya dan permasalahannya dengan wartawan dan media.
“Mau mbak bantu?”
“Mbak bisa bantu apa?”
“Mbak bisa bantu sebagai kakak dan sebagai konsultan komunikasi. Pertama saran mbak sebagai kakak adalah… perjelas hubunganmu dengan Ariana, jika kamu ingin serius dengannya. Beri tahu dia tentang keinginan orang tuamu. Apakah dia sanggup menunggu 7-8 tahun lagi dengan status menggantung yang sama seperti sekarang. Kalau dia tidak sanggup, jangan pernah mencoba hubungi Ariana dan jangan lagi mau dihubungi olehnya. Kalau dia sanggup, katakan pada Ariana untuk tidak mempublikasi hubungan kalian. Kedua, saran mbak sebagai konsultasi komunikasi adalah… kamu bisa menolak untuk menjawab semua pertanyaan wartawan tentang hal di luar pertandingan. Termasuk tentang kehidupan preferensi pribadimu, pertemananmu, keluargamu dan lain-lain. Tapi kamu harus konsisten tidak menjawabnya. Konsekuensinya, kamu juga harus sangat berhati-hati untuk berbagi di media sosial. Konsekuensi ini juga berlaku bagi orang-orang secara pribadi punya hubungan dengan kamu.”
Telepon Febian berdering. Lalu kemudian Febian mematikannya.
“Kenapa dimatiin?”
“Sumber semua kekacauan ini, Ariana.”
“Kamu tidak bisa terus menghindar dari dia Bi.”
Febian pun akhirnya mau berjanji untuk memperjelas hubungannya dengan Ariana dan menyelesaikan semua masalahnya dengan wartawan.
“Besok Lukman mau wawancara bisa ya Bi. Pertanyaannya nanti mbak yang saring.”
Febian pun hanya mengangguk
“Oh iya Bi. Mbak minta maaf ya. Sekarang kamu mengerti kan kenapa mbak nggak bisa nerima perasaan kamu. Ariana yang jauh lebih muda dari mbak saja ditanggapi sedemikian antipati oleh orang tuamu. Apalagi mbak dengan segala masa lalu mbak?”
“Boleh aku tanya sesuatu mbak?”
“Kenapa mbak bisa jadi seperti ini?”
Widya pun akhirnya bercerita tentang masa lalunya.
“Hm… jadi almarhumah adik mbak itu seumuran aku ya mbak?”
“Persis. Ada beberapa bagian dari adik mbak yang ada di dalam dirimu. Sikap kompeitifnya, sifat sungguh-sungguhnya…”
“Boleh aku yang sekarang memberi saran pada mbak. Sebagai adik.” Febian kini sudah mulai menerima dia tak akan pernah bisa dianggap laki-laki oleh Widya.
“Tidak semua hubungan romantis itu rumit mbak.” Sambung Febian lagi.
“Mbak tahu. Tapi mbak jengah jika membayangkan kemungkinan buruk yang mungkin terjadi dalam hubungan romantis. Mbak bahkan hampir kehilangan karier mbak Bi waktu itu.”
“Baiklah mbak. Setidaknya kita satu kesamaan, yaitu kita punya fokus yang sama. Karier.”
Widya hanya tersenyum.
***
“Feb, kamu kenapa berubah sih? Susah banget dihubungin.” kata Ariana saat itu.
Febian hanya diam. Ini adalah pertemuannya yang pertama dengan Ariana setelah dia menghindari Ariana selama sekian lamanya.
Karena aku tidak bisa terlihat kalah di depanmu, Ariana. Aku tidak bisa percaya padamu. Kata Febian dalam hati.
“Orang tua kamu gimana soal berita kita berdua? Perlu aku jelaskan pada mereka?”
“Jangan Na, nanti tambah ribet.”
“orang tua kamu nggak suka sama aku? Karena aku lebih tua?”
“Lebih tepatnya karena mereka ingin aku fokus tanding dulu Na.”
“Kita kan nggak perlu nikah besok.”
“mereka ingin aku menikah, paling cepat 7-8 tahun lagi. Apakah kamu sanggup menunggu?”
“Ini bukan cara kamu untuk membuat aku mundur kan?”
“Atau kamu sanggup menghadapi hubungan ‘pertemanan’ kita yang tanpa kepastian ini saja? Dan menjaganya dari mata publik. TIdak membaginya di sosial media misalnya. Kamu sanggup?”
“Ini bukan cara kamu untuk membuat aku mundur kan?” sampai dua kali Ariana menanyakan pertanyaan yang sama.
Febian hanya diam. Dan itu adalah percakapannnya yang terakhir dengan Ariana. Ariana kini meninggalkan Febian sendiri.