Jawaban (episode 3)

Telepon seluler Febian berdering. Febian tahu siapa yang menghubunginya. Kalau bukan Ariana, pasti itu dari orangtuanya. Tidak mungkin orang yang diinginkannya, WIdya.

“Iya Pak…”

“Berita kamu sama Ariana itu benar?” kata bapaknya

“Febian cuman berteman saja dengan dia pak… Media yang berlebihan.”

“Tapi kenapa beritanya begitu besar Feb?”

Febian ingin menjawab karena dia adalah pemenang dan Ariana adalah seorang artis. Punya nilai berita yang begitu tinggi. Tapi keluarganya tidak akan mengerti.

“Lain kali Feb akan lebih berhati-hati pak…”

“Ibu mau bicara Feb…” kata bapaknya disebrang telepon sana.

 “Ini ibu Feb… Feb… ibu cuman pesan kamu sekarang sudah jadi orang. Bapak dan ibu mungkin tidak bisa membimbingmu sepenuhnya. Kamu bisa berhubungan dengan siapapun yang kamu mau. Bapak dan ibu hanya berpesan, jaga nama baik keluarga dan orang tuamu yang sudah mulai renta ini Feb…”

“Kamu masih muda Feb, masih 20 tahun. Ariana itu sudah  25 tahun. Sebentar lagi dia pasti akan memintamu untuk memperjelas hubungan. Bapak dan Ibu masih ingin kamu fokus pada prestasimu saja dahulu. 7-8 tahun lagi lah baru kamu berpikir tentang keluarga.” Bapaknya memberikan nasehat dengan lebih lugas dan rasional.

Ingin sekali Febian menghubungi Widya. Namun, dengan kejadian kemarin, tentu Widya tidak mau lagi menghubungi dan dihubungi lagi olehnya. Jadilah dia menghubungi Ariana. Tapi kemudian diurungkannnya. Dia tidak bisa terlihat buruk di depan Ariana. Dia tidak cukup percaya pada Ariana.

***

Turnamen setelah semuanya terjadi, Febian kalah dipertandingannya yang pertama.

“Feb, kamu itu kenapa? Latihan nggak konsen, saya bilangin cuman bengong, kamu keasikan pacaran ya sama si artis itu. Siapa namanya? Rihana?” omel pelatih Febian, Pak Taufik.

Febian hanya diam. Febian menemukan sedikit komedi diantara semua tragedy yang sedang melandanya. Pelatihnya salah menyebut nama Ariana.

“Kamu itu masih muda. Lima tahun lagi juga masih banyak yang mau sama kamu. Kamu sekarang lagi ada di umur emas-emasnya. Kamu harus fokus sama pertandingan. Karier kamu. Saya minta fokus kamu 5 tahun lagi aja.”

Pelatih Febian pun berlalu. Tanda evaluasi telah berakhir. Denny yang lanjut ke babak selanjutnya menghampiri Febian.

“Feb, lo akhir-akhir ini beda deh. Latihan nggak konsen, dimarahin pelatih belaga bego, dan yang paling aneh adalah lo nggak mau di wawancara lagi. Biasanya kan lo paling seneng kalo mbak WIdya dah nongol” Denny memberi tatapan aneh pada Febian.

“Gue lagi bad mood aja Den. Khusus masalah wawancara, lo kayaknya lebih jago buat ngadepin media. Lo kan anak Jakarta.” Kata Febian. Dahulu memang Denny yang mengajari Febian tentang media.

“bad mood kenapa sih? Rihana? Lu pikir lu Chris Brown apa?” kata Denny sambil tertawa.

“Ah, lo ikutan pak pelatih aja. Lagian gue bukan bete gara-gara Ariana kok.”

“Lah terus?”

“Complicated deh pokoknya.”

“Feb, lo nggak boleh gini donk. Lu nggak bisa nyekip 2 turnamen ke depan loh. Itu turnamen penting dan bergengsi. Kalo keadaan lo masih kayak gini, lo bisa turun ranking. Sebulan dua bulan lo kayak gini terus, bisa-bisa lo degradasi dari pusat pelatihan.”

Febian kembali hanya diam. Dia tak ingin apapun. Dia hanya ingin mengetahui kabar mbak Widyanya.

“Sekarang Ariana dimana ketika lo lagi jatuh gini? Tu mbak-mbak beneran ya. Cuman ada saat lo menang doank.”

“Gue yang nggak angkat teleponnya.”

“Kalau githu lo yang gila. Cewek cantik kayak githu lo cuekin, meskipun mbak-mbak sih.”

“Gue nggak bisa terlihat jelek didepan dia.”

“Harusnya kalo emang dia cewek yang baik ya Bi, dia harusnya bisa nge-treat lo pas lagi gini.”

“Gue yang nggak sanggup ‘telanjang’ di depan dia? Gue kurang percaya sama dia.”

“Au ah gue nggak paham cerita cinta sama mbak-mbak. Cinta gue cuman buat raket gue” kata Denny sambil mencium raketnya.

***

“Mbak, gawat.” Kata Lukman diujung telepon menelepon WIdya yang berjaga di Gedung DPR. Sekarang sedang tidak ada berita yang terlalu penting disana. Lagi adem.

“Kenapa Man? Kok tumben banget kamu telpon mbak. ”

“ya karena gawat makanya aku sampe telepon mbak. Febian bener-bener nggak mau ngasih kata-kata, mbak. Padahal kan dia kalah di babak pertama itu kan hal yang sangat besar.”

“Ah… lagian kalian sih… kemarin waktu dia menang. Yang diberitain Ariana. Sekarang dia kalah juga mau diajdiin berita. Beneran ya lo pada.”

“Sekarang juga beritanya masih Ariana mbak… Gosipnya dia kalah karena konsentrasinya terbagi karena pacaran sama Ariana.”

“Ya makin nggak mau lah dia Man.. Kalian itu kan wartawan olahraga, kenapa berita nggak berbobot gt yang kalian turunin? Mbak pernah ngajarin kayak gt nggak? Kita cukup tahu aja mengenai kehidupan pribadi mereka. Supaya bisa jadi info dasar kita bikin berita. Bukan sebagai berita utama.”

“Ya, orang yang jadi keingintahuan publik kan itu mbak.”

“Tapi agenda medianya apa? Agenda publiknya apa? Pentingnya memenuhi keingintahuan public tentang hal itu apa?”

Lukman hanya diam.  Mati dia dicecar seniornya.

“Tapi kan tim redaksi setuju mbak.”

“Kamu tahu nggak keluhan mereka sama mbak. Kalian mampunya cuman ngambil sudut pandang yang itu. Kalian bener-benere bikin mbak malu dan merasa gagal membimbing kalian. Ya dari pada nggak ada berita, itulah yang diturunin. Lagi hype banget kan turnamennya. Kalo nggak ada beritanya malah aneh.”

Widya puas menumpahkan kekesalannya pada juniornya itu.

“Jadi gimana donk mbak?”

“Oke. Mbak, coba ngomong dulu sama mas Wayan. Kalo mas Wayan bisa gantiin mbak disini untuk sementara. Mungkin mbak bisa bantu disana. Untung disini lagi adem.”

***

Widya pun mendatangi Febian di pusat pelatihan. Wayan mengerti kekacauan apa yang sedang terjadi. Dia pun menggantikan Widya berjaga sementara Widya menyelesaikan masalah yang dibuat Lukman dan kawan-kawannya tanpa pikir panjang. Seusai latihan, dia menghampiri Febian. Febian yang saat itu masih dalam keadaan mood yang buruk. Melihat Widya didepannya, Febian tak tahu harus bagaimana. Febian tak tahu harus bersikap pada Widya sebagai wartawan yang harus dia hindari atau sebagai wanita yang dirindukannya. Febian hanya sanggup diam dengan mata berkaca-kaca.

“Mbak datang sebagai kakak, Bi.”

Febian kembali bingung. Harus bagaimana dia bersikap.

“Bersikaplah sebagai adik mbak. Jangan lebih, karena mbak akan pergi kalau itu terjadi.”

Febian akhirnya hanya menangis sesengukan di depan Widya. Satu satunya manusia yang dia percaya untuk melihat semua kelemahannya.

“Ada apa Bi? Coba cerita sama mbak.”

Febian pun menumpahkan semua hal yang menjadi ganjalan hatinya selama ini. Hubungannya dengan Ariana, permohonan orang tuanya dan permasalahannya dengan wartawan dan media.

“Mau mbak bantu?”

“Mbak bisa bantu apa?”

“Mbak bisa bantu sebagai kakak dan sebagai konsultan komunikasi. Pertama saran mbak sebagai kakak adalah… perjelas hubunganmu dengan Ariana, jika kamu ingin serius dengannya. Beri tahu dia tentang keinginan orang tuamu. Apakah dia sanggup menunggu 7-8 tahun lagi dengan status menggantung yang sama seperti sekarang. Kalau dia tidak sanggup, jangan pernah mencoba hubungi Ariana dan jangan lagi mau dihubungi olehnya. Kalau dia sanggup, katakan pada Ariana untuk tidak mempublikasi hubungan kalian. Kedua, saran mbak sebagai konsultasi komunikasi adalah… kamu bisa menolak untuk menjawab semua pertanyaan wartawan tentang hal di luar pertandingan. Termasuk tentang kehidupan preferensi pribadimu, pertemananmu, keluargamu dan lain-lain. Tapi kamu harus konsisten tidak menjawabnya. Konsekuensinya, kamu juga harus sangat berhati-hati untuk berbagi di media sosial. Konsekuensi ini juga berlaku bagi orang-orang secara pribadi punya hubungan dengan kamu.”

Telepon Febian berdering. Lalu kemudian Febian mematikannya.

“Kenapa dimatiin?”

“Sumber semua kekacauan ini, Ariana.”

“Kamu tidak bisa terus menghindar dari dia Bi.”

Febian pun akhirnya mau berjanji untuk memperjelas hubungannya dengan Ariana dan menyelesaikan semua masalahnya dengan wartawan.

“Besok Lukman mau wawancara bisa ya Bi. Pertanyaannya nanti mbak yang saring.”

Febian pun hanya mengangguk

“Oh iya Bi. Mbak minta maaf ya. Sekarang kamu mengerti kan kenapa mbak nggak bisa nerima perasaan kamu. Ariana yang jauh lebih muda dari mbak saja ditanggapi sedemikian antipati oleh orang tuamu. Apalagi mbak dengan segala masa lalu mbak?”

“Boleh aku tanya sesuatu mbak?”

“Kenapa mbak bisa jadi seperti ini?”

Widya pun akhirnya bercerita tentang masa lalunya.

“Hm… jadi almarhumah adik mbak itu seumuran aku ya mbak?”

“Persis. Ada beberapa bagian dari adik mbak yang ada di dalam dirimu. Sikap kompeitifnya, sifat sungguh-sungguhnya…”

“Boleh aku yang sekarang memberi saran pada mbak. Sebagai adik.” Febian kini sudah mulai menerima dia tak akan pernah bisa dianggap laki-laki oleh Widya.

“Tidak semua hubungan romantis itu rumit mbak.” Sambung Febian lagi.

“Mbak tahu. Tapi mbak jengah jika membayangkan kemungkinan buruk yang mungkin terjadi dalam hubungan romantis. Mbak bahkan hampir kehilangan karier mbak Bi waktu itu.”

“Baiklah mbak. Setidaknya kita satu kesamaan, yaitu kita punya fokus yang sama. Karier.”

Widya hanya tersenyum.

 ***

“Feb, kamu kenapa berubah sih? Susah banget dihubungin.” kata Ariana saat itu.

Febian hanya diam. Ini adalah pertemuannya yang pertama dengan Ariana setelah dia menghindari Ariana selama sekian lamanya.

Karena aku tidak bisa terlihat kalah di depanmu, Ariana. Aku tidak bisa percaya padamu. Kata Febian dalam hati.

“Orang tua kamu gimana soal berita kita berdua? Perlu aku jelaskan pada mereka?”

“Jangan Na, nanti tambah ribet.”

“orang tua kamu nggak suka sama aku? Karena aku lebih tua?”

“Lebih tepatnya karena mereka ingin aku fokus tanding dulu Na.”

“Kita kan nggak perlu nikah besok.”

“mereka ingin aku menikah, paling cepat 7-8 tahun lagi. Apakah kamu sanggup menunggu?”

“Ini bukan cara kamu untuk membuat aku mundur kan?”

“Atau kamu sanggup menghadapi hubungan ‘pertemanan’ kita yang tanpa kepastian ini saja? Dan menjaganya dari mata publik. TIdak membaginya di sosial media misalnya. Kamu sanggup?”

“Ini bukan cara kamu untuk membuat aku mundur kan?” sampai dua kali Ariana menanyakan pertanyaan yang sama.

Febian hanya diam. Dan itu adalah percakapannnya yang terakhir dengan Ariana. Ariana kini meninggalkan Febian sendiri.

Rasa seorang Pemuda (episode 2)

Febian hanya merenung dipinggir lapangan. Dia sendiri di perantauan. Sejak kecil memang dia sudah hidup di asrama junior. Sebenarnya dia sudah terbiasa. Tapi, di pusat pelatihan sungguh berbeda. Tidak ada lagi yang merangkulnya ketika menangis karena kalah.  Tidak ada lagi yang memotivasinya ketika akan bertanding melawan yang jauh lebih hebat darinya. Di asrama junior, semua pelatih dan support sistemnya dipersiapkan untuk menghadapi hal-hal semacam ini. Di sini semua harus mandiri. Lagi pula dia seorang lelaki. Kalau perempuan mungkin bisa saling curhat sesame perempuan.

“Bian, mbak boleh wawancara?”

Febian bungah. Dia bingung harus gembira atau kesal. Dia gembira karena Widya datang, dia kesal karena Widya datang sebagai wartawan. Kalau wartawan yang datang bukan Widya mungkin dia ingin menolak dimintai komentar. Dia sudah hafal pertanyaannya. Bagaimana persiapan dia menghadapi musuh bebuyutannya.

“Aku sudah hafal pertanyaannya mbak. Aku langsung jawab aja. Persiapannya sama seperti pertandingan lainnya.”

“Maaf ya, mbak nyebelin.” Kata Widya kini.

Tapi selanjutnya dia jelaskan alasan mengapa wawancara ini penting. Baginya juga bagi Febian serta bagi seluruh rakyat Indonesia. Febian pun luluh. Dia mengerti pekerjaan Widya, wanita yang telah mencuri hatinya. Ya. Widya adalah wanita baginya, bukan sekedar wartawan.

Setelah Febian memberikan jawaban yang cukup proper. Dan lalu berlanjut ke pertanyaan selanjutnya sampai akhinya tanya jawab pun berakhir.

“Bi, boleh of the record? Kabar kamu sama Felly tuh gimana sih?”

Lagi-lagi artis, namun yang kini berbeda.

“Ya nggak gimana-gimana mbak. Orang kan itu temenku di klub literasi. Cuman yang sering di sorot kamera itu aku sama dia. Padahal Felly itu pacarnya ada di klub itu juga.”

“Berarti kasusnya beda sama Shanti?”

“Beda lah… Hm… mbak, yang tadi, mau nggak off the record juga nggak papa.”

“Tapi udah gt, isu itu nggak bakal punya nilai berita lagi donk.”

“Berarti maksudnya media pengen aku bilang kalo aku pacaran sama Felly gt? Ya abis nanti mbak aku dihajar pacarnya.”

“Atau media lebih senang menggantungnya. Eh, tapi menarik loh soal klub literasi itu. Boleh kamu certain lebih jauh nggak?”

Febian pun menceritakannya pada Widya dengan mata berbinar-binar.

“mbak mau nanya sesuatu yang pribadi, tapi nggak off the record. Boleh?”

“Wah.. curiga saya jadinya mbak.”

“Boleh nggak?”

“Apa?”

“Udah punya pacar belum?”

“Yah, mbak Widya kayak nggak ngeliat aja kehidupan kita disini kayak gimana.”

“Kriteria perempuan yang disukain Febian tuh kayak gimana sih?”

“Mbak beneran mau tahu?”

“Lah, kan ini aku lagi wawancara. Aku sih nggak pengen tahu sebenernya. Tapi… orang-orang kan pengen tahu. ”

“Tapi kan mbak bukan wartawan inpohtemen.”

“Itu pertanyaan titipan temen mbak, Bi. Jadi Bian nggak mau jawab nih?”

“Melindungi, mengayomi, pengertian.”

“Berarti kamu suka yang lebih tua ya? Waw! Mbak nggak nyangka loh.”

“Contohnya mbak.”

Jawaban ini dikira Widya sebagai candaan. Tapi Febian mengatakannya dengan serius. Ya. Dia mencintai Widya sebagai wanita. Dia mengkhayalkan Widya yang akan menjadi wanita yang akan memeluknya ketika dia kalah. Dia menginginkan Widya yang akan bersamanya merayakan setiap kemenangan yang di dapatnya. Dia juga memimpikan  Widya akan memotivasinya ketika hendak menghadapi pertandingan yang sulit.

“Ah, kamu nih ada-ada aja. Mbak serius nih. Contohnya Ariana mungkin?”

Febian memang digosipkan dengan begitu banyak wanita. Maklum, dia memang sedang dalam masa-masa emas dalam kariernya. Ariana sendiri adalah seorang aktris yang cukup mumpuni. Umurnya lebih tua sedikit dibanding Febian. Widya tahu betul seberapa Ariana menyukai Febian. Dan sepengelihatan Widya, Febian pun membalas rasa Ariana. Tanpa Widya ketahui bahwa Febian sedemikian besar lebih menginginkannya.

“Ya… Ariana boleh lah… Hehe… nggak dink mbak. Aku masih fokus tanding dulu. Nggak mikir yang lain. Aku baru 20 tahun loh mbak. Mbak, soal Ariana, tolong off the record ya…” Ya. Ini adalah 3 tahun setelah pertemuan pertama mereka. Sekaligus hari terakhir Widya bertugas di pusat pelatihan. Dia kembali k epos politik, berjaga di Gedung DPR.

***

“Bi, selamat ya atas kemenangannya.” Sahut Ariana diujung telepon.

“Makasih Ri.”

“Jalan yuk.” Ajak Ariana.

“Boleh.”

“Jemput aku di stasiun TV?”

“OK”

***

Febian tak menyangka keputusannya salah. Tak bisa dia percaya begitu banyak paparazzi tak terkendali jaman sekarang. Sekarang kabar kedekatannya dengan Ariana menghiasi semua media. Kalau ada kemenangan yang dia raih, pertanyaan tentang Ariana kini menjadi konsekuensi.

Suatu ketika Febian tidak tahan lagi. Dia pun mengambil handphonenya dan menghubungi sebuah nomor, Widya. Sementara itu diujung sana, Widya sedang repot mengejar narasumber seorang anggota DPR yang santer kabarnya akan ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.

“Bi, lo kok aneh deh. Lo kan kemarin abis menang. Tapi ekspresi muka lo sekarang itu kayak lo abis kalah.” Sahut Denny teman sekamarnya.

Febian tak memperdulikannya, dia hanya terus berusaha menghubungi Widya yang ternyata tidak ada hasilnya.

***

Widya baru saja bisa bernafas setelah semua hal yang berhubungan dengan politikus tersangka korupsi itu selesai. Konferensi pers beres, olah data beres, stor tulisan beres. Dia baru melihat handphonenya dan seketika itu, dia melonjak.

‘What? 50 missed call. Walah, jangan bilang dari mas Wayan.”  Teriakan reflek Widya ini membuat kaget semua wartawan lain yang ada disekitarnya. Wayan adalah nama pimpinan redaksinya.

“Ssssttttt!!!!!” balasan itulah yang didapat Widya dari teman-teman sejawatnya dari berbagai media. Widya memang masih berada di ruang media kantor KPK.

Widya lebih terkejut lagi ketika tahu bahwa yang menghubunginya adalah FEBIAN. Namun, kini dia bisa mengendalikan ekspresinya.

“Lang, hasil tunggal putra turnamen gimana?” Widya bertanya pada Gilang, wartawan politik dari media lain yang setahunya adalah seorang pencinta bulutangkis.

“Aneh deh lo mbak. Yang mantan wartawan olahraga siapa, yang lama di pusat pelatihan siapa, yang banyak kenalan atlet siapa. Lah, nanya ke gue mbak? Kenapa tiba-tiba tanya?”

“Udahlah cepetan jawab, darurat nih.”

“Febian lah mbak. Dia mah udah nggak ada lawan.”

“Beritanya udah turun?”

“Udah. Tapi yang jadi berita malah kedekatan Febian ama Ariana. Kasian amat ya. Wartawan-wartawan itu apa nggak tahu kalo menang itu susah. Lah, abis menang, malah ditanyain kehidupan pribadi. Dikira artis apa?”

“Salah dia juga Lang. Pacaran sama artis.”

“Emang pacaran mbak?’

“PDKT doank. Febian nya playboy.” jawab Widya santai.

Kini Widya tahu apa yang menyebabkan Febian sampai menghubunginya sedemikian gigih.  Tapi dia sudah tak punya tenaga untuk mendengar curahan hati anak muda yang sedang tidak stabil. Dia hanya ingin tidur kali itu.

***

“Bi, kemarin kamu telepon mbak ya. Maaf ya, kemarin mbak sibuk banget. Ada apa?” kata Widya basa-basi ketika pagi itu Febian kembali menghubunginya.

“Aku kangen sama mbak. Aku cintanya sama mbak. Bukan sama Ariana. Aku menginginkan mbak sebagai seorang wanita bukan seorang kakak.”

Emosi yang dipendam Febian sekian lama akhirnya termuntahkan semua. Kata-kata Febian ini hanya membuat  Widya terbujur kaku. Tapi kemudian…

“Lalu, apa yang kamu lakukan dengan Ariana?”

“Ariana hanya pelarianku karena mbak terus-terusan mengangapku anak kecil dan tidak pantas diperhitungkan sebagai laki-laki. Ariana cuman kakak yang mengajariku menikmati dunia.”

“Lalu kesalahan mbak ada dimana?”

“Kenapa mbak tidak menganggapku sebagai laki-laki?”

“Kenapa kamu tidak bisa menganggap mbak sebagai kakak dan Ariana sebagai wanita? Ariana jauh lebih muda dari mbak Bi… dia lebih mungkin jadi wanitamu daripada mbak Bi…”

“I love you because of that! Karena mbak jauh lebih dewasa dari Ariana. Ketika aku kalah, yang meluk aku cuman mbak.” kata-kata yang keluar dari mulut Febian kini menjadi semakin emosional.

“Karena ketika kalah cuman mbak yang kamu hubungi. Beri kesempatan pada Ariana untuk mencoba melewati kekalahanmu di kemudian hari. Bi, maaf, mbak harus ngejar narasumber.”

Ariana baru datang ketika Febian menghadapi masa kemenangannya. Dia tidak kebagian masa-masa dimana Febian ingin berhenti bahkan ingin bunuh diri. Widya yang menemani Febian kala itu. Sampai saat ini, ketika dia kalah, dia hanya ingin menghubungi dan dihubungi Widya. Ariana tidak tahu itu.

Widya tak menyangka bahwa kasih sayang pada adiknya yang dia alihkan pada Febian akan berujung seperti ini. Tapi, Widya tak punya cukup waktu untuk membuatnya menjadi sebuah masalah.

Pikiran Febian menjadi kalut. Dulu yang dikejar Widya adalah dirinya. Dia merasa tersanjung karena itu. Membayangkan kini Widya mengejar banyak lelaki lain selain dirinya yang tidak ia kenal sungguh menyulitkan baginya. Dia cemburu, namun tak bisa berbuat banyak.

Ariana? kini tidak ada lagi tempat dipikiran Febian untuk memikirkan Ariana.

Munculnya seorang bintang (episode 1)

Hari ini adalah hari pertama Widya bertugas di pusat pelatihan bulutangkis nasional. Dia tersingkir dari daftar wartawan politik di kantornya. Dengan semua hal yang telah terjadi dalam hidupnya belakangan ini, masih syukur hanya degradasi yang dialaminya. Setidaknya dia tidak dipecat. Di kantornya, wartawan politik adalah posisi premium. Semua wartawan yang bekerja di kantornya, berlomba ingin ditempatkan di pos politik. Menjadi wartawan di pos ini harus siap siaga setiap saat 24 jam. Sedangkan di pos olahraga tidak perlu seperti itu. Dia hanya perlu siaga di saat ada event-event atau ketika ada prestasi tertentu yang diraih. Meskipun begitu, observasi harus dilakukan setiap hari. Agar ketika ada yang bernilai berita, data-data riset yang diperlukan untuk membuat tulisan yang mumpuni tersedia.

3 bulan yang lalu adik lelakinya yang sangat dicintainya meninggal dengan cara yang tragis. Sebulan yang lalu pernikahannya batal karena diketahuinya bahwa sang calon suaminya ternyata sudah beristri. Dia begitu terpukul dan kinerjanya menurun drastis. Meskipun begitu, untuk ukuran stress seperti itu, dia tidak berpikir untuk bunuh diri saja sudah merupakan sesuatu keberhasilan baginya. Hanya di degradasi menjadi wartawan olahraga adalah hal yang masih baik-baik saja buat dia. Ini tak lepas karena prestasinya selama ini. Dia merupakan wartawan kesayangan pimpinan redaksinya sampai semua hal buruk menimpanya dalam waktu yang bisa dibilang singkat.

Adiknya memang sudah tanggung jawabnya sepenuhnya, sejak dia bisa membiayai hidup adiknya. Adiknya pun sangat dekat dengannya. Maka, kematian adiknya yang tragis memang sangat amat memukulnya. Lebih memukul dari pembatalan pernikahannya yang membuatnya menjadi skeptis terhadap hubungan romantis.

Kebetulan hari itu juga adalah hari pertama para pemain baru berdatangan ke pusat pelatihan. Mereka adalah putra-putri umur 15-19 tahun terbaik yang dikumpulkan dari seluruh negeri. Tiba-tiba saja air matanya mengalir. Beberapa dari mereka pasti ada yang seumuran dengan adiknya, 17 tahun, 10 tahun lebih muda darinya.

“Mbak Wid, baik-baik aja?” kata Lukman

“Nggak papa Luk. Ada apa?”

“Aku khawatir mbak. Mbak kenapa tiba-tiba nangis?”

“Mbak inget adik mbak.”

“Mbak yang sabar ya…” hanya itu yang bisa diucap Lukman.

Lukman adalah wartawan baru, juniornya yang Widya harus bimbing. Dia memang tak bertugas sendiri dari kantornya. Biasanya dia berdua atau bertiga. Tapi karena sekarang bukan masa “peak season”. Maka, dia hanya berdua saja bersama Lukman.

***

Widya dan Lukman baru saja selesai melapor pada Humas pusat pelatihan. Merekalah yang akan bertugas di tempat itu selama beberapa waktu ke depan. Widya pun tidak tahu dia akan berapa lama di sana. Yang pasti, sampai dia bisa buktikan pada dirinya sendiri bahwa kinerjanya sudah kembali.

“Mbak, aku mau cari stok foto dan kenalan santai dulu sama atlet-atletnya ya.”

“Ya. Kalau bisa kamu kenalan sama yang kemarin juara Man. Daniel Sutomo sama Gerry Kusmanta kalau nggak salah”

Lukman pun pergi.

“Mbak Widya tuh bukannya yang tugas di DPR ya?” sahut Humas pusat pelatihan. Ya. Dia memang mantan pebulu tangkis yang sempat menjadi politikus, Randi Haryono. Widya beberapa kali wawancara dengannya. Tentu saja wawancara politik.

“Iya pak. Sekarang disini.”

“Kalau butuh kenalan sama Daniel-Gerry bisa loh saya panggilkan.”

“Nggak pak. Tidak urgent kok. Salah satu tugas saya emang membimbing Lukman. Biar ‘sense of news’ nya tercipta. Biar dia bisa membangun jaringan dan melakukan investigasi.”

“Ou… ya sudah, mari saya tinggal dulu.”

Widya pun kembali sendiri. Mata investigatifnya jelalatan kemana-mana. Mengobservasi dan mencari hal-hal yang kira-kira menarik untuk direkam di otaknya. Dan tak disangka, dia menemukan seorang lelaki muda sedang menangis dipojokan. Dia pun terpanggil untuk menghampiri.

“Kalah itu emang nggak nyaman.”

“mbak siapa?” kata lelaki muda itu.

“Saya Widya. Wartawan. Tahun-tahun kedepan pasti kamu akan banyak bertemu dengan saya.”

“Ya kalo wartawan kan emang disini terus.”

“Biasanya, yang biasa ketemu wartawan itu para juara. Karena mereka yang punya nilai berita.”

“saya kalah mbak.” kata remaja itu sambil terus menyembunyikan wajahnya.

“Itu kan hari ini. 2-3 tahun lagi pasti akan berbeda. Siapa nama kamu?”

“Febian.”

“saya nggak sabar nulis berita Febian yang menjuarai berbagai kejuaraan. 2-3 tahun lagi saya yakin Febian pasti bisa.” kata Widya sambil menyerahkan sebotol aqua yang sebenarnya dia simpan untuk dirinya. Itulah yang biasa dia lakukan pada adiknya ketika sang adik merasa terpuruk.

Itulah pertemuan pertama Widya dan Febian. Sebuah pertemuan yang tak disangka Widya sangat memberi arti pada Febian.

***

Sebulan kemudian… anak muda itu kembali termenung sendiri. Widya mendekatinya.

“Kenapa Bi? Kusem amat.”

“Ini mbak datang sebagai apa nih?”

Waktu selama sebulan ini telah membuat Febian mulai tahu apa fungsi wartawan yang ada disekitarannya. Meski dia belum punya nilai berita, tapi bisa saja dia dijadikan sumber berita tentang hal yang mempunyai nilai berita. Entah konflik antar atau antara sesama pemain, pelatih atau pengurus. Denny yang memberi tahunya. Karena Denny tahu, kedekatan Febian dan Widya. Kata Denny, Febian harus memastikan Widya mendekatinya sebagai apa. Kalau sebagai wartawan, maka Febian perlu berhati-hati akan setiap kata yang keluar dari mulutnya. Mungkin saja hal-hal remeh bisa punya nilai berita bagi wartawan. Dan kalau ada suatu kehebohan yang disebabkan curhat Febian, bisa jadi nasib buruk bagi Febian. Denny tahu semua dari kakaknya yang sudah lama menjadi penghuni pusat pelatihan ini.

“Jadi, lu harus tanya dan mastiin ketika wartawan datang ngedeketin lu. Dia datang sebagai apa. Kalau sebagai wartawan, lu musti hati-hati. Tapi kalo lu merasa udah jadi temen sama mereka dan mereka bilang datang sebagai temen, mereka punya etika juga kok. Tapi… ya itu, harus dipastikan, mode apa yang lagi nyala di mereka.”

Itulah kata Denny yang memberikan penjelasan pada seorang anak daerah, Febian.

“Mbak datang sebagai kakak.” Kalau begini artinya, apa pun yang dia ceritakan kepada Widya akan aman.

Febian pun mengungkapkan apa yang ada dalam hati dan pikirannya. Kegalauan-kegalauan anak muda tentang masa depan. Hal-hal yang biasa adik Widya ceritakan. Widya sudah tahu bagaimana cara mengatasinya. Membuat mereka tenang dan memberikan kekuatan pada mereka. Hal-hal yang juga dia lakukan pada Lukman dan anak muda lainnya yang datang padanya.

***

Setahun setelah itu…

“Mbak Widya aku juara!!!!” sahut Febian.

“Selamat Bian. Nanti aku minta wawancara ya Bi. Exclusive.” kata Widya professional, mempertegas bahwa dia datang sebagai wartawan.

“Apa sih yang nggak buat mbak Widya.”

“Tapi nanti wawancaranya nggak sama aku ya. Sama Lukman.’

“Tapi mbak Widya ada kan?”

Salah satu keputusan hidup yang tak pernah disesali Widya adalah mendekati Febian ketika menangis setahun yang lalu. Sama tidak menyesalnya dia dengan keputusannya membatalkan pernikahannya. Walau dia harus mendapat cemoohan tak henti dari keluarga besarnya. Sudahlah, toh dia dan mereka tak bertemu setiap hari.

Karena keputusannya mendekati Febian, dia jadi punya kedekatan yang sedikit istimewa dengan Febian. Melihat polanya, dia yakin Febian akan jadi seseorang yang besar suatu hari nanti. Ketika itu dia tidak akan sulit mendapatkan janji wawancara dengan sang bintang.

Seusai wawancara…

“Bi, off the record donk, kabar kedekatan kamu sama Shanti tuh gimana sih?”

Bi atau Bian adalah panggilan Widya untuk Febian. Widya yang pertama kali menggunakannya. Dan sekarang, seluruh media juga menggunakannya. Shanti adalah seorang selebriti.

“Dia ngefans sama aku mbak. Suka ngasih-ngasih aku hadiah.”

“Weis, Bian, fansnya artis. Tapi kayaknya dia ngarep ke kamu lebih loh.”

“Mbak, aku bingung. Aku nggak biasa sama sorot kamera.”

“Juara emang githu. Apalagi kalau pacaran sama artis.”

“Aku nggak pacaran mbak sama dia. Mbak, aku sedang butuh kamu sebagai kakak. Bisa nggak?”

“Oke. Off the record kuadrat.”

“aku risih mbak sama Shanti.”

“why? She just like you. Fans of you.”

“Ya, kata mbak tadi. Dia ngarepnya lebih. Mbak tahu juga kan? Orang beritanya udah nyebar off the record juga di kalangan wartawan.“

“You just a 19’s year old boy, baby. She does too. Just enjoy your young time.”

Begitulah Widya memainkan perannya sebagai wartawan dan sebagai seorang “kakak”.

“Mbak Widya sendiri udah punya pacar? Aku tanya sebagai adik loh ya mbak, bukan sebagai atlet.”

“Emang ngaruh?”

“Nggak sih mbak.”

“Ketika kamu dewasa, kamu akan tahu pahit manis kehidupan Bi. As I say, just enjoy your time.”

Ketika Dilan menjadi Minke

Saya tahu tulisan ini telat. Ya, saya selalu telat. Haha. Tapi lebih baik daripada tidak. Tentang sebuah buku yang sudah lama dikabarkan menjadi film. Tapi nggak jadi-jadi, karena sekompleks itu isinya.

Bumi Manusia adalah sebuah buku yang banyak menjadi batu loncatan pemikiran seseorang. Saya membaca ke-4  buku tetraloginya. Sebenarnya buku ini menjadi sekompleks itu ketika kamu membaca ke-4nya. Emang seepik itu. Ada yang lebay, menganggungkan bak kitab suci. But, kalau Bumi Manusia secara mandiri sebenarnya tidak sekompleks itu. Pemikiran-pemikiran yang rumit sebenarnya ada di buku Anak Semua Bangsa juga Jejak Langkah, karena Rumah Kaca hanya kaca mata lain saja mengenai dua buku sebelumnya. Dan kalau disederhanakan menjadi kisah cinta pun sebenarnya inti cerita BUMI MANUSIA tidak hilang. Dari kisah cinta Minke dan Annelise serta Nyai Ontosoroh dapat menggambarkan sosial-budaya-politik saat itu. Konflik sosial-budaya-politiknya tetap akan terasa, walau fokusnya hanya kisah cinta Minke-Annelise. Dengan catatan, penulis naskah dan sutradaranya mampu.

Saya mungkin sangat bodoh tentang sejarah, dan tidak punya bayangan tentang apa itu kolonialisme. Sebelum membaca Bumi Manusia, yang saya bayangkan tentang penjajahan adalah apa yang terjadi di Palestina hari ini. Serangan militer. Tapi, Bumi Manusia membuka mata saya. Saya mengerti bahwa yang terjadi saat itu, bukanlah hanya karena Belanda yang jahat, tapi karena bangsa sendiri yang bahkan lebih jahat dari Belanda. Belanda hanya mengambil keuntungan dari keadaan yang sudah buruk. So, ketika ada yang bilang, “Tiongkok lebih mengerikan daripada… (honestly, lupa bandingannya negara mana)” saya bisa berkata bahwa bangsa kita sendiri lebih mengerikan. Hanya kamu tidak sadar karena paham primordialis yang sudah mandarah daging dalam pemikiranmu.

 

About the actor.

OK, Dilan yang jadi Minke. Reaksi pertama saya adalah… “What the???”. Actually, imajinasi saya sudah terpuaskan dengan pasangan teaternya, Reza Rahadian dan Chelsea Islan. Minke is Reza. Buat saya itu sudah pas banget. Apalagi melihat keberhasilan Reza memerankan Cokroaminoto. It will be great, if Reza be Minke.

Tapi… bosen nggak sih sama komposisi Hanung + Reza? Haha. dan pasti jadinya interpretasi karakternya jadi mirip2 ame Cokroaminoto deh nanti. Lagipula kedarahmudaannya nggak dapet. Ketuaan. Lagi pula, Reza sebenarnya adalah sosok yang “settle”. See when he be Remi (Perahu Kertas) and dr. Syarief (Surga yang tak dirindukan 2). Dua-duanya film komersil yang sutradaranya Hanung. Agak aneh kelau tiba-tiba Reza dapet peran galau-galau remaja. Minke adalah karakter remaja yang galau. Galau remaja jaman dahulu tentu beda dengan galaunya kids jaman now. Standar dewasanya beda karena tuntutan jaman yang juga berbeda. Dahulu, dengan sistem sosial yang ada, para pemuda tidak dituntut untuk mandiri secara finansial. Sehingga, energinya cukup untuk memikirkan yang terjadi pada “rakyat”. Karena mereka mampu dan punya waktu berpikir biasanya “priyayi”. Sekarang, seseorang baru akan dianggap dewasa, ketika dia memiliki kemerdekaan financial dan mampu membangun keluarga. Maka, haruslah fokus dalam belajar supaya cepat lulus, lalu kerja, lalu menikah. Biarkan rakyat memikirkan dirinya sendiri. Toh, dia pun rakyat. Tidak ada yang salah dengan itu. Hanya saja, jadinya… that’s interesting if we watch kids jaman now with old maturity standard. Coba bayangkan seberapa menarik ketika para kids jaman now itu “galau”  bukan karena gebetan ditikung temen yang dompetnya lebih tebel, tapi “galau” karena mikirin “rakyat”. Sarkasnya, it will be so funny. Hahahaha.

Tentang Annelise, rapuh-lemah tapi kompetennya dapet banget sih. Sejujurnya, lebih dapet daripada Chelsea. Rapuh-lemah dan indonya kurang dapet di Chelsea. Annelise sebenarnya adalah perempuan yang kompeten seperti ibunya, Nyai Ontosoroh. Tapi entah kenapa, karakternya dibentuk sangat rapuh dan lemah. Ah, tokoh yang paling kubenci dalam tetralogi ini. It will be great if she died in the end of film. Masalahnya, dia mati di buku Anak Semua Bangsa uy.

Tentang Nyai Ontosoroh. Sejujurnya sosoknya kurang tegas sih untuk jadi Nyai Ontosoroh. Saya juga udah lama nggak lihat actingnya. Akan lebih baik kalau Happy Salma aja sih udah, sebagaimana di teaternya. Dapet banget emosi Nyai nya, apalagi pas yang di pertunjukan monolog. Secara umur juga masih masuk. Tapi masalahnya mungkin, Happy Salma kurang mirip sama yang jadi Annelise nya.

 

About the director and script writer.

Saya tahu Bumi Manusia pernah akan dibuat oleh duet Mira Lesmana-Riri Riza dan juga Anggy Umbara. Saya sebenernya lebih penasaran kalau dibuat oleh duet Mirles-Riri karena melihat bagaimana mereka membuat AADC 1 dan Gie. Mungkin, masalah paten yang menghalangi keduanya. Tapi, Anggy Umbara? Hm… Walau saya suka filmnya yang 3 : Alif Lam Mim. Tapi saya tidak terbayang akan jadi apa Bumi Manusia ditangannya. Dan sejujurnya, saya sudah bertekad, tidak akan nonton kalau sutradaranya Anggy Umbara. Maafnya saya kakak Anggy…

Maka, ketika mendengar Hanung yang menyutradarainya, sejujurnya saya tenang. Setidaknya saya suka gambarannya tentang Kartini. Walau tidak setuju semuanya, salah satunya tentang akhir ceritanya. Kenapa disembunyikan fakta bahwa Kartini adalah istri ke tiga dari bupati Rembang?

Tentang Salman Aristo. Kebanyakan film yang dia tulis saya suka. Dan selalu suka dengan premis-premis film yang ditulis Salman Aristo. Tapi saya agak khawatir mengingat komposisi Hanung + Salman Aristo  pernah membuat saya kecewa di Ayat ayat Cinta 1. Tapi, memang ada karakter novel yang jauh berbeda antara AAC dan Bumi Manusia. Berbeda dengan Bumi Manusia yang tidak hilang esensi premisnya jika difokuskan dalam kisah cinta, Ayat ayat Cinta mempunyai ikatan yang kurang mulus antara kisah cinta dan premisnya. Nilai-nilai dakwah yang diselipkan dalam Ayat-ayat Cinta kurang mulus balutannya dalam kisah cinta. Intinya kang Abik belum seapik HAMKA. Hamka begitu mulus menyelipkan nilai-nilai dakwah dalam kisah cinta Hayati-Zainudin (Tenggelamnya Kapal van der Wijck)

(Note:

Karena kalau dibandingin ama Pram, takut nanti dibilang pro komunis tidak pro dakwah, jadi bandingan eike Hamka aja dah. Sayangnya sedikit dari kita yang baca bukunya HAMKA. Actually, baru HAMKA lawan yang sebanding dengan Pram, sejauh bacaan sastra yang pernah saya baca.)

 

About production house.

Falcon. Sejujurnya, saya bukan penonton film produksi falcon. Tapi semoga seoke DILAN sih. Sejujurnya ada kekhawatiran zonk kayak Benjamin (komposisi Hanung-Falcon) sih. Sebenarnya saya akan lebih tenang kalo dipegang sama PH yang sama dengan film Tenggelamnya Kapal van der Wijck. Tapi… ya lihat aja deh.

Kartu Kuning

Sebagai seseorang yang dulu pernah berada di kehidupan mahasiswa. Saya tahu pasti, bahwa pergerakan mahahsiswa, dengan segala dinamikanya tidak pernah berhenti. Hanya saja, terlihat punya nilai berita oleh media atau tidak. Dulu bahkan pernah sebuah sekolah tinggi yang dikenal sebagai salah satu sekolah tinggi terbaik di Indonesia di demo agar aksi punya nilai berita yang cukup menarik untuk diliput media.

Aksi kartu kuning kemarin adalah sebuah aksi yang punya nilai berita yang cukup fantastis untuk diberitakan secara cukup massif oleh media-media mainstream. Beragam reaksi muncul dari aksi tersebut. Baik itu reaksi positif dan negatif terhadap aksinya, maupun serangan secara pribadi kepada pengeksekusi aksi.

 

download.jpg

 

Dalam kehidupan mahasiswa sendiri memang ada dua paradigma dengan pendekatan yang berbeda dalam memandang pergerakan mahasiswa. Satu memfokuskan gerakan mahasiswa sebagai penyambung lidah rakyat. Melakukan kajian sosial dan menjadi kontrol sosial. Hal ini dianggap aksi omong doang dan omong kosong oleh paradigm yang satunya.

Paradigma yang satunya menganggap bahwa berbicara saja tidak cukup. Harus ada sesuatu yang nyata yang juga diberikan oleh mahasiswa. Ketika saya menjadi mahasiswa, tentu saya menganut paradigma ke dua. Sampai akhirnya saya menemukan bahwa TIDAK SEMUDAH ITU BERKONTRIBUSI NYATA DALAM MASYARAKAT. Bukan sebagai pengakuan seperti “tuh, kan kerjaan pemerintah itu susah” dan menjadi pembenaran bahwa kritik terhadap pemerintah tidak perlu ada. Tentu ketidakmampuan pemerintah tidak bisa dibebankan kepada mahasiswa. Mahasiswa tidak punya otoritas, kapasitas dan sumber daya yang cukup untuk itu.

Pada akhirnya… kritik mahasiswa tidak bisa dijadikan mengalih tanggung jawaban tugas-tugas pemerintah. Mahasiswa dengan segala keterbatasannya tidak bisa dilepaskan dari tugasnya sebagai kaum intelektual di kalangan kelas menengah. Ketidakmampuan mahasiswa berkontribusi nyata tidak bisa menghilangkan hak dan kewajiban mahasiswa menyandang fungsi kontrol sosial dan penyambung lidah rakyat mengkritisi  kebijakan pemerintah yang menyimpang.