Ku Lari Ke Pantai

Komentar pertama yang akan saya ucapkan adalah “that’s my kind of film”. Haha. Waktu kecil, saya adalah tipe anak yang menonton Petualangan Sherina di bioskop, membeli dvdnya, membeli kaset OSTnya, menonton filmnya setiap hari, dan selalu menyetel kasetnya kapanpun saya bisa. Haduh, alay banget deh kalo inget. Seorang anak kecil tidak punya pemahaman yang cukup untuk dapat menangkap pesan filosofis dari sebuah film. Setelah saya besar, barulah saya mengerti bahwa sebenarnya yang dilawan dalam film tersebut adalah jangan menyerah pada bully, bully itu harus dilawan. Mereka juga punya sisi lemahnya. Kekurangan Sadam digambarkan bahwa dia sebenarnya adalah anak yang tidak punya kebebasan sebagai dirinya sendiri di rumah. Semua diatur ibu-bapaknya. Walau saya sefanitik itu sama film Petualangan Sherina, sejujurnya saya agak tidak suka dengan tokoh Sherina. Because I’m not as strong as her. Haha.

Ketika mendengar ada film Ku Lari ke Pantai. Ada rasa rindu yang sedemikian besar terhadap film anak yang dibuat Riri Riza dan  Mira Lesmana. Mungkin saya sudah berkali-kali bilang, bahwa saya sangat suka film-film yang dibuat oleh Riri Riza dan Mira Lesmana terutama Petualangan Sherina, AADC 1 dan Gie. Menontonnya nggak kerasa. Nggak kayak film lain yang saya harus mengintip jam hape, untuk menghitung berapa lama lagi film akan berlangsung. Begitu pula ketika film usai, sejujurnya, saya tidak merasa sudah menonton selama hampir dua jam. Tidak terasa. Dan saya rasa, kalau nanti film ini ada dalam bentuk digital, saya akan menontonnya tiap hari, sebagaimana yang saya lakukan pada film Petualangan Sherina.

Kisahnya tentang konflik budaya. Antara anak yang “dikampungkan” dengan produk urban jaman now. Somehow, saya rasa film ini sebenernya diperuntukan bagi orang tua. Karena anak-anak tidak dapat mengolah pesan filosofis yang terlalu rumit. Seperti saya katakan diawal, layaknya saya ketika menonton Petualangan Sherina. Orang tua seperti dihadirkan dua tipe anak hasil pola asuk yang bertolak belakang. Pada kenyataannya, hal ini akan ada di sampai kapan pun dalam berbagai spektrumnya.

Happy yang produk urban jaman now, yang tidak mengerti bagaimana asiknya bermain bersatu bersama alam. Saya merasa Happy adalah kepribadian Cinta AADC dalam bentuk anak-anak. Anak-anak yang adaptif terhadap pergaulan dan lingkungan sehingga terkesan tidak punya prinsip. Ikut semua “aturan” komunitas agar diterima dalam komunitas tersebut.

Di kutub lain ada seorang Sam yang tumbuh di pantai dan berjiwa petualang. Orangtuanya sengaja menjauh dari hingar bingar kota dan memilih lingkungan pedalaman Rote sebagai lingkungan latar Sam akan dibesarkan. Karena itulah Sam begitu menyatu dengan alam. Tapi, kemenyatuan Sam dengan alam (serta tinggalnya di pedalaman) inilah yang menyebabkan Happy menganggap Sam kampungan. Sebaliknya, Sam sendiri menganggap Happy sok dan sombong. Hal ini didasarkan pada cara Happy bergaul dengan teman-temannya dan juga cara Happy membawa diri dan memperlakukan Sam.

Terkadang saya merasa relate dengan Happy, namun sering kali dengan Sam. Satu hal yang saya paling merasa relate dengan Happy, sikap Happy ketika bertemu alam pedesaan. Itulah juga yang saya lakukan ketika masih di pertama kali datang ke daerah asal suami saya. and he said, ”Kamu tuh harus tahu cara bersikap. Nggak pantes.”. Ketika itu saya marah besar karena merasa tidak ada yang salah dengan apa yang saya lakukan. Tapi, setelah melihat yang dilakukan Happy dari kacamata Sam, saya mengerti mengapa ketika itu suami saya marah.

Sisanya, saya lebih relate dengan Sam. Saya mengalami pergi ke sekolah dengan menggunakan sendal jepit dan kantong kresek. Bukan karena orang tua saya tidak mampu, tapi karena saya melihat teman-teman saya melakukan hal itu juga. Hahaha. Dan ketika pindah ke kota saat kelas 2 SD, saya mengerti apa yang teman-teman saya lakukan pada saya, dengan melihat pandangan Happy terhadap Sam. Bagi orang-orang seperti Happy, mereka memiliki kualitas lebih dibadingkan orang-orang seperti Sam. Padahal ketika menghadapi kesulitan yang nyata, nyatanya, Sam lebih mampu menghadapinya dengan cara yang lebih baik, tidak seperti orang-orang Happy yang seperti mengandalkan kepemilikannya terhadap uang. Sayangnya, saya tidak punya keberanian dan keahlian yang dimiliki oleh Sam untuk “menghadapi” orang-orang semacam Happy.

 

And I like the song… Welcome back ‘lagu anak’….

Dilan vs Rangga (Gie, I mean…)

Ketika peluncurannya, entah bagaimana, banyak yang melakukan perbandingan terhadap Dilan dan Rangga. Kebanyakan bertitah tentang perlakuan mereka terhadap perempuan. Dan bagaimana sosok keduanya di mata perempuan. Sejujurnya saya merasa perempuan sedikit terekspoitasi. Hahaha. Saya lebih suka melihatnya dari sudut pandang, bagaimana kedua karakter fiksi tersebut memandang beberapa hal yang sejajar.

Dilan merupakan sebuah sosok simbol kemaskulinan yang sangat naif. Dilan menggambarkan kekuatan, keberanian dan teritori. Tidak dapat dipungkuri sosok seperti ini adalah idaman wanita. Sejatinya perempuan bahagia dalam kuasa dan nyaman dalam lindungan. Tak peduli ada kalangan yang melihatnya sebagai penjara. Bahasa mudahnya, “Perempuan seneng digombalin, meskipun dia tahu gombalannya itu bohong”.

Rangga mau tak mau tidak bisa lepas dari Gie dalam pembentukan karakternya. Hal ini juga diakui oleh Riri Riza sang produser dan sutradara “Ada Apa dengan Cinta?”(1 dan 2). Kalau dibandingkan karakter Gie dan Rangga dalam dua film yang berbeda yang diproduseri juga oleh orang yang sama hampir tidak ada perbedaan. Gie yang digambarkan dalam filmnya begitu dingin dan serius seperti Rangga di AADC. Bisa dibilang persis karena diperankan oleh aktor yang sama. Saya sendiri tidak senaif itu ingin menggambarkan karakteristik Gie di kehidupan nyata. Gie menurut saya pastinya memiliki sisi “hore” dalam dirinya. Hal yang ditunjukan dalam buku harian pastilah sisi tergelap dari diri kita. Hal-hal yang tidak mungkin dia tunjukan secara telanjang pada khalayak ramai. Belum lagi gaya menulisnya yang sebenarnya cenderung spontan semakin meyakinkan saya bahwa Gie dan Dilan mungkin bisa disejajarkan. Sayangnya Dilan punya sisi “hore” yang terlalu dominan.

Hal yang paling sama dari keduanya adalah pegangan terhadap prinsip yang begitu kuat. Prinsip Gie tidak perlu diragukan lagi tentunya. Bagaimana banyak sekali quotenya yang berhubungan dengan prinsip masih popular hingga saat ini, salah satunya… “Lebih baik terasing daripada menyerah terhadap kemunafikan”. Sosok prinsipil Dilan sendiri tergambar dengan bagaimana dia berani melakukan protes keras kepada gurunya. Agak rancu memang. Tapi kalau mendengar penjelasan penulisnya dalam berbagai forum, yang ingin disampaikan disana sebenarnya adalah mengenai “kesemenaan penggunaan otoritas”. Ketika yakin bahwa telah terjadi kesemenaan penggunaan otoritas, kita tidak perlu ragu untuk melawan.

Selain itu keduanya adalah sosok anak muda yang dekat dengan sastra. Walau beda aliran. Tapi, sejauh saya hidup. Sangat jarang laki-laki yang punya kedekatan sedemikian rupa dengan sastra. Sehingga kedekatan keduanya bisa jadi barang yang mustahil dalam kehidupan nyata.

Perbedaan cukup ada pada bagaimana mereka memandang sosok perempuan. Seperti telah dibahas sebelumnya, Dilan melihat perempuan sebagai teritori. Dimana harga dirinya ternodai ketika ada lelaki lain yang mengganggu, bagaimana harga dirinya hancur ketika wanitanya tidak bahagia. Gie bahkan punya pandangan yang lebih buruk mengenai wanita. Setidaknya Dilan menempatkan, perempuan dalam kategori yang “cukup (bahkan sangat) berharga”. Yang bisa saya nilai, perempuan bukanlah hal yang penting dalam hidup Gie (mungkin tidak ada yang dia anggap penting dalam hidupnya). Dia menganggap perempuan adalah sebuah tempat istirahat dan bersenang-senang ditengah kejamnya dunia yang disesalinya. Katanya, orang yang paling beruntung adalah orang yang tidak dilahirkan.

Jadi, bila disuruh memilih antara Dilan dan Rangga (Gie, I mean). Tentu saja aku memilih Dilan. Setidaknya perempuan punya tempat, walau bukan tempat sempurna dalam keseimbangan.

Goblin

Meskipun umur tidak muda lagi, tapi tetep gue nggak mau ketinggalan tren. Ada satu drakor yang ngetren gt akhir-akhir ini. Sebenernya gue telat gitu, karena ketika gue mulai nonton, hiruk pikuknya udah selesei gitu. Tapi setelah gue tonton dengan menggunakan wifi warung dengan membeli es teh seharga 3000, tapi bergelas-gelas (2-3 gelas gt deh).

Goblin, sebuah drama fantasi
Drama korea ini bercerita tentang sebuah roh yang berhasil lolos dari kematian karena diselamatkan oleh seorang siluman (Goblin) yang sedang mabuk. Seorang Siluman memang diceritakan memiliki kekuatan ‘menentang’ kehendak dewa. Dia hidup abadi, tidak pernah menua dan tidak pernah mati. Namun, keabadian tersebut merupakan hukuman baginya. Dia hidup dengan tidak tenang. Dia menginginkan kematian. Syarat kematiannya adalah pedang yang menancap secara gaib didadanya harus dicabut. Dan yang dapat mencabut pedang hanyalah ‘pengantin’ (bride) yang telah ditentukan oleh dewa dan ternyata roh yang diselamatkan oleh Goblin dari kematian. Ironisnya, sang pengantin hanya bisa mencabut pedang tersebut ketika Goblin dan pengantinnya sudah berada dalam ikatan cinta yang cukup dalam (istilah yang dipakai dalam film ini adalah CINTA SEJATI atau TRUE LOVE). Di saat itu, Goblin sudah tidak ingin mati, dia malah menginginkan kehidupan, selama-lamanya dia bisa bersama sang pengantin. Konflik terjadi ketika sang dewa berkehendak hanya salah satunya dari Goblin dan pengantinnya yang bisa bertahan hidup di dunia fana ini. Selain itu, terdapat kisah ‘grim reaper’ yang bertugas menjemput roh dan mengantarnya ke pintu kehidupan berikutnya. Dia menjalin sebuah hubungan “bromance” dengan Goblin dan menjalin cinta dengan seorang perempuan yang di kehidupan lampaunya adalah adik dari Goblin.

Logical Fallacy yang ada di dalam “GOBLIN”
Di luar film ini hanyalah sebuah fantasi yang hanya perlu dinikmati, ada beberapa hal yang perlu dicermati. Sebetulnya banyak sekali hal yang janggal dalam film ini. Jadi, sebagai seorang yang kebanyakan mikir, maka, gue akan menyoroti kejanggalan yang paling berat.

Sebagai seorang beriman, film ini sangat jauh dari keimanan kita sebagai seorang muslim. Selain menunjukan gods (jamak dari God alias dewa-dewi) yang bertentangan dengan surat Al-Ikhlas, juga bertentangan dengan sifat wajib Allah, yaitu Qudrat (berkuasa) dan Iradat (berkehendak). Kemampuan Goblin menyelamatkan pengantinnya dari kematian dan juga takdir ajal yang bisa merubah juga tentunya bertentangan dengan keimanan kita. Ketergantungan takdir ajal terhadap kecepatan grim reaper menjemput ruh adalah hal yang lainnya.

Secara bahasa, kehendak didefinisikan kemauan, keinginan dan harapan yang keras. Dan berkehendak didefinikan sebagai mempunyai kehendak; kemauan, keinginan dan harapan yang keras. Sementara secara kontekstual, sifat Allah, Iradah (berkehendak), mempunyai arti Allah SWT telah menciptakan dan mengatur alam semesta beserta isinya (termasuk salah satunya adalah mengenai ajal makhluk-makhluk-Nya) atas kehendak-Nya sendiri, tanpa ada campur tangan dari pihak lain, Apapun yang Allah SWT kehendakin pasti akan terjadi. Seandainya Allah tidak bersifat berkehendak niscaya bersifat terpaksa (karohah). Allah bersifat terpaksa adalah mustahil karena artinya tidak juga bersifat berkuasa (qudrat). Sementara itu, Allah bersifat tidak berkuasa adalah hal yang mustahil, sebab hal itu akan berakibat lemahnya Allah. Kelemahan merupakan hal yang mustahil dimiliki oleh Allah, karena tidak akan mampu membuat sesuatu sedikitpun.

Maka dari itu, konsekuensinya adalah kapan ajal datang itu adalah sebuah kepastian. Tidak mungkin ada makhluk-Nya yang bisa mengubahnya. Tidak ada makhluk-Nya yang bisa menentang kehendak-Nya. Konsekuensi dari kemampuan menentang-Nya, makhluk tersebut harus memiliki kekuatan yang minimal sama dengan-Nya. Berasal darimanakah kekuatan untuk menentang-Nya tersebut? Bagaimana ada makhluk yang memiliki kekuatan lebih besar dari penciptanya?

#catatanwongdeso #pikiranngacomakkebanyakanmikir

Aku harus berpikir agar Aku ada

Sejujurnya saja aku lelah…
Lelah dengan semua ketakutan yang aku alami
Aku bertanya lagi apa yang aku inginkan dalam hidup?
Dan aku tahu jawabannya adalah kamu…

Aku mungkin sama denganmu…
tidak berani mempunyai keinginan
Kamu tidak berani mempunyai keinginan
karena terlalu banyak dikecewakan oleh keadaan dan dirimu sendiri…
Aku mungkin tahu penyebabnya…
Kamu tidak berani menerima konsekuensi dari keinginanmu
Tanggung jawab yang ada di belakang keinginanmu
Karena aku pun demikian…

Hanya saja dalam hal ini…
Aku tidak berani membayangkan aku akan menjalankan skenario terburuk
Aku tidak berani membayangkan aku memberikan kesedihan bagi lingkunganku
Aku tidak berani membayangkan kalau hidupku ini tidak berguna
Aku tidak sadar bahwa ketidakberanian itu malah membuat bayangannya semakin jelas
Aku tidak sadar bahwa semua bayangan itu tidak berguna

Aku harus sadar akan apa yang aku pikirkan
Aku harus berpikir agar aku tetap ada

Seharusnya aku berpikir…
Aku akan berhasil melewati semuanya
Seperti aku berpikir…
Angin akan membawamu kembali padaku

Pilihan

Ketika pilihan yang harus kita pilih adalah pilihan yang tidak bisa kita pilih…
Ada baiknya kita tidak memilih keduanya…
Hal tersebut lebih baik daripada
kita menyesal akan pilihan yang kita pilih
Dan tidak memilih pilihan yang tidak kita pilih

Tidak memilih membuat kita kehilangan hak untuk menyesal…

Hati

Jadi… aku hectic banget hari-hari ini dan hari-hari ke depan. Tapi malah lebih produktif nge-blog. Mungkin karena otak terus bekerja dan akhirnya terstimulus. Kali ini lagi pengen bahas lagu. Lagunya Brian McKnight – One Last Cry dan Float – Sementara. Berikut terlampir dua video lagu hasil cover dari Afgan. Dan aku lebih suka versi covernya. Karena yang cover Afgan. Hahahahha….

 

 

One Last Cry

My shattered dreams and broken heart
Are mending on the shelf
I saw you holding hands
Standing close to someone else

Now I sit all alone
Wishing all my feeling was gone
I gave my best to you

Nothing for me to do
But I have one last cry

One last cry
Before I leave it all behind
I’ve gotta put you out of my mind this time
Stop living a lie

I guess I’m down to my last cry… cry…

I was here you were there
Guess we never could agree
While the sun shines on you
I need some love to rain on me

I know I gotta be strong
But ’round me life goes on and on and on and on…
I’m gonna dry my eyes
Right after I get my one last cry

Lagu ini lagu patah hati. Tapi maskulin. Mematahkan mitos kalo laki-laki nggak boleh nangis gara-gara patah hati. Meskipun boleh nangis tapi cuman boleh untuk yang terakhir kalinya aja. Di lagu ini juga ditunjukin kebesaran hati seorang laki-laki, yang menerima keputusan perempuan untuk memilih seseorang yang bukan dirinya. Ada kesetaraan dalam lagu ini. Ada rasionalisasi juga sebenernya di lagu ini. Dia bilang kalo sejak awal, keduanya berada di tempat yang berbeda dan memang tidak mungkin bersama. Ah… aku terpesona sama lagu ini dah pokoknya.

 

 

Sementara

Sementara teduhlah hatiku
Tidak lagi jauh
Belum saatnya kau jatuh

Sementara ingat lagi mimpi
Juga janji janji
Jangan kau ingkari lagi

Percayalah hati lebih dari ini
Pernah kita lalui
Jangan henti disini

Sementara lupakanlah rindu
Sadarlah hatiku hanya ada kau dan aku

Dan
sementara akan kukarang cerita
Tentang mimpi jadi nyata
Untuk asa kita ber dua

Percayalah hati lebih dari ini
Pernah kita lalui
Takkan lagi kita mesti jauh melangkah
Nikmatilah lara

Jangan henti disini

Hm… hm… aduh… gimana ya ini liriknya… hm… abis kata-kata untuk lagu ini… dalem…

Inti ceritanya semacam sepasang kekasih yang belum mungkin bersatu saat ini. Ada mimpi dan janji yang belum tertunaikan pada orang lain. Maka dari itu, dia bilang “sementara” kita gini aja dulu, kita karang cerita tentang happy ending nya kita. Setelah menunaikan janji dan mencapai mimpi yang telah ada sebelum keduanya bertemu.

Sederhana saja

Aku agak malu mengakuinya dan mengambil contoh.

Kira-kira 10 tahun yang lalu aku membaca kisah Dimas dan Ruben di buku pertama Supernova. Aku agak bingung dengan penjelasan disana. Tentang perasaan cinta yang tidak membara namun hangat. Ya. Seumur itu semua rasa seperti membara. Aku kenal kata cinta yang sederhana namun tidak mengerti apa artinya. Belakang ini aku mulai mengerti apa artinya.

Baik. Aku memang merasakan perasaan membara itu. Sudah lewat. Aku tak pernah menyesal pernah merasakannya, walau mungkin kisah itu tidak sempurna. Tidak timbul dalam ikatan yang baik. Tapi, aku tetap bersyukur pernah merasakannya. Dan aku merasa cukup. Selesailah masa membara itu. Karena rasanya memang melelahkan.

Semuanya akan menjadi lebih sederhana. Bagaimana dirimu memandang sebuah hubungan. Bagaimana dirimu memandang kehidupan.

Dan sejujurnya aku merasa cukup dengan apa yang aku miliki hari ini. Cukup tentang apa yang aku dapatkan. Termasuk cinta darinya. Cinta yang diawali dengan membara dan sangat tidak sederhana. Perjalanan yang melelahkan dan juga tidak sederhana.

Namun, kini menjadi begitu sederhana, bisa berbincang dengannya dalam beberapa percakapan yang mungkin tidak beguna. Tanpa adanya tujuan yang jelas dari perbincangan itu. Bagiku semua sudah cukup. Aku kembali merasakan perasaan aman itu.

Ya. Aku kembali menyukai Kahitna.