Tulisan ini akan saya dimulai dengan… SEMUA ITU PILIHAN SESEORANG yang berada di ranah privatnya. Dan seorang perempuan begitu juga seorang laki-laki punya kebebasan memilih seperti apa kehidupan pribadinya.
Kita perlu akui bahwa laki-laki lebih membutuhkan pernikahan daripada perempuan. Secara natural, laki-laki lebih perlu penyaluran kebutuhan dasarnya yang setara dengan makan dan minum. Secara kultural, laki-laki adalah pihak yang akan diurusi oleh perempuan dalam keluarga. Walau di jaman sekarang sangat banyak laki-laki yang sangat open minded untuk oke-oke aja ketika tidak diurusi, tidak minta diurusi, bahkan ikut turun tangan untuk mengurusi urusan domestik. Namun, ekspektasi masyarakat lebih membebani perempuan. Maka dari itu, perempuan yang enggan terbebani dengan semua itu memilih untuk tidak menikah. Apalagi fungsi laki-laki dalam kelurga bisa dia jalankan, dia bisa mandiri mencari uang sendiri. Padahal tujuan pernikahan bukanlah mencari penanggung hidup baru selain orang tua.
Di lain pihak, pilihan tidak menikah untuk seorang laki-laki adalah pilihan yang lebih berbahaya. Kenapa? Biasanya laki-laki yang enggan menikah adalah laki-laki yang enggan berkomitmen atau enggan bertanggung jawab. Merasa perempuan jaman sekarang banyak menuntut secara materi. Padahal kebutuhan dasarnya harus tetap tersalurkan. Jadi kemana dia menyalurkannya?
Karena perempuan yang secara pendidikan memadai biasanya bergaul dengan laki-laki yang enggan berkomitmen atau bertanggung jawab, maka terjadilah keengganan untuk menikah. Jadi solusinya apa? Hentikan pengkotakan peran-peran ini, suami harus begini, istri harus begitu. Toh, di Al-qur’an tidak ada aturannya. Bahkan di dalam sirah… jelas-jelas Aisyah dan Khadijah diriwayatkan memiliki budak dan pelayan. Yakin kedua istri Rasul itu menanggung semua beban tugas domestik? Khadijah juga diceritakan adalah seorang saudagar. Disinilah saya menyadari bahwa Nabi Muhammad adalah seorang laki-laki yang untuk ukuran jaman sekarang pun bisa dibilang SANGAT MODERN. Dia tidak kehilangan harga dirinya sebagai laki-laki meski istrinya saudagar kaya, egonya tidak terluka. Bisa jadi, Nabi Muhammad adalah seorang bapak rumah tangga ketika beristrikan Khadijah. Jadi aturan siapa itu perempuan harus mengerjakan semua urusan domestik dan laki-laki harus mencari nafkah?
Tujuan pernikahan sendiri pun bagi setiap individu yang menikah berbeda-beda. Ada yang kebutuhan akan biologisnya sedemikian tinggi sehingga ingin menikah TANPA TERLALU banyak pilih-pilih, yang penting agamanya baik. Apakah alasan itu salah? Menurut saya tidak. Itu adalah cara dia untuk melindungi dirinya sendiri. Ada yang menikah karena sudah berada diujung masa subur reproduksi. Apakah ini salah? Tentu tidak. Mungkin menurut dia, kebahagian adalah menjadi orang tua. Ada yang menikah karena merasa menemukan pasangan yang tepat. Untuk beberapa kalangan, alasan ini dianggap sebagai alasan yang paling benar. Ada yang menikah karena ingin memiliki keluarga, adanya rumah tempat dia “pulang” (biasanya terkamuplase dengan ingin beribadah). Nah, ini adalah alasan yang dianggap wajar bagi kultural Indonesia dan dianggap paling benar. Intinya… alasan menikah seseorang adalah untuk mencapai kebagaian versi dirinya.
Maka dari itu, bisa jadi… orang yang memilih untuk tidak menikah memiliki versi kebahagiannya sendiri. Bahkan ada ulama-ulama yang tidak menikah selama hidupnya karena ingin mengabdikan dirinya untuk ilmu Allah. Jadi… pada intinya… menikah dan tidak adalah pilihan privat seseorang yang harus dipertanggungjawabkan kepada Allah. Ketika kita menikah. Kita harus bertanggung jawab akan kehidupan pernikahan kita, dan ketika kita tidak menikah kita harus bertanggung jawab akan kehidupan single kita.
Bagaimana dengan memiliki anak? Keputusan untuk memiliki anak, pada sebagian besar masyarakat Indonesia, didominasi oleh keputusan laki-laki. Padahal… yang terdampak secara fisik dan psikologis dominannya adalah perempuan. Bagaimana bentuk tubuh perempuan berubah ketika hamil dan menyusui. Bagaimana hormon menyebabkan kondisi psikologis perempuan bergejolak selama hamil dan menyusui. Bagaimana tanggung jawab tentang anak akan 75% dibebankan kepada perempuan. Belum lagi trauma masa kecil yang mungkin dimilikinya akibat pengasuhan orang tuanya. Maka dari itu, cobalah lihat keputusan seseorang untuk merasa cukup dengan pasangannya saja dengan empati pada apa akibatnya terhadap tubuh perempuan. Istri Nabi Muhammad pun yang mempunyai anak hanya Khadijah dan Mariyah al-Qibthiyah. Tidak mempunyai anak, tidak mengurangi kemuliaan dari istri-istri nabi Muhammad yang lain.
Menurut saya… tidak ada yang salah dengan apapun pilihan yang kita pilih, asalkan kita siap akan konnsekuensi di dunia dan di akhirat. Menikah atau tidak menikah. Punya anak banyak, punya anak dikit atau tidak punya anak. Tidak ada pilihan yang mutlak lebih baik.